TEMPO.CO, Jakarta - Komite I DPD (Dewan Perwakilan Daerah) memberikan sejumlah catatan soal Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang tengah dibahas DPR dan Pemerintah.
Catatan Komite I DPD adalah pertama, RUU Cipta Kerja dinilai akan merugikan daerah.
Menurut Ketua Komite I DPD Agustin Teras Narang, rumusan aturan sapu jagat tersebut banyak memuat frasa yang mengubah bahkan bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945.
"RUU tentang Cipta Kerja akan menimbulkan terjadinya sentralisasi pemerintahan atau perizinan," kata Teras dalam keterangan tertulisnya hari ini, Rabu, 29 April 2020.
Catatan ini disampaikan Komite I DPD menjelang rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang diadakan Badan Legislasi DPR tentang RUU Cipta Kerja pada hari ini.
Dalam RDPU tersebut, Baleg DPR mengundang Menteri Sekretaris Negara era Presiden Megawati Soekarnoputri, Bambang Kesowo, dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Satya Arinanto.
Teras, yang pernah menjadi Ketua Komisi Hukum DPR, berpendapat sentralitas pemerintah pusat itu berpotensi merugikan daerah serta berdampak pada hilangnya semangat otonomi daerah.
Teras Narang mengungkapkan bahw semangat otonomi daerah merupakan salah satu tuntutan Reformasi 1998 yang berujung pada amandemen UUD 1945.
Dia menilai RUU Cipta Kerja menghilangkan makna gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 91 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Eks anggota DPR dari PDIP tersebut juga menyoroti Pasal 166 RUU Cipta Kerja yang memungkinkan peraturan daerah (perda) dibatalkan dengan peraturan presiden (perpres) serta Pasal 170 tentang undang-undang (UU) yang dapat diubah melalui peraturan pemerintah (PP).
Teras mengatakan Pasal 166 Omnibus Law RUU Cipta Kerja bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 terkait pengujian beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Putusan MK tersebut menyatakan pengujian atau pembatalan perda menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah Agung (MA).
Adapun Pasal 170 dianggap bertentangan dengan Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UU Nomor 12 Taun 2011 menyebut PP memiliki kedudukan lebih rendah dibanding UU sehingga PP tidak bisa membatalkan atau mengubah UU.
Komite I DPD juga menyoroti banyaknya peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Cipta Kerja, yakni 493 PP, 19 perpres, dan 4 perda.
"Ini menunjukkan tidak sensitifnya pembentuk undang-undang atas kondisi regulasi di Indonesia yang hiper-regulasi," kata Teras, politikus asal Kalimantan Tengah.