TEMPO.CO, Jakarta - Pembahasan Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja tetap jalan di tengah pandemi Covid-19. Senin kemarin, 27 April 2020, Badan Legislasi DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan akademisi dan pengusaha.
Dalam rapat itu hal baru pun muncul, yaitu usulan perubahan nama menjadi RUU Kemudahan Berinvestasi. Usulan datang dari Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia, Sarman Simanjorang.
Gayung bersambut. “Saya senang sekali dengan (usulan) Pak Sarman Simanjorang ini,” kata anggota Baleg DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan dikutip dari Antara. Usulan ini juga disetujui oleh anggota Baleg dari Fraksi PPP Syamsurizal.
Rapat ini diadakan tiga hari setelah Presiden Jokowi memutuskan untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja. Namun, penundaan hanya dilakukan pada materi RUU yang menyangkut klaster Ketenagakerjaan.
Ia mengatakan Pemerintah dan DPR memiliki pandangan yang sama soal tersebut. Pemerintah pun telah menyampaikannya kepada DPR. Keputusan Presiden Jokowi itu disampaikan di Istana Merdeka hari ini, Jumat, 24 April 2020, lewat keterangan tertulis yang diterima Tempo.
Dua hari kemudian, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menegaskan kembali bahwa RUU Ciptaker ini dapat mendorong peningkatan lapangan kerja dan investasi untuk memacu pertumbuhan kegiatan usaha. “Serta meningkatkan perlindungan pekerja, terutama pasca pandemi Covid-19,” kata dia.
Saat ini, kata Susiwijiono, ada RUU Cipta Kerja memiliki 11 klaster yaitu: penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek strategis nasional, dan kawasan ekonomi.
Namun setelah bertemu serikat buruh, pemerintah memutuskan menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan. “Terutama pada klaster ketenagakerjaan yang dianggap berpihak kepada para investor,” ujar Susi.
Pembahasan yang terus berlanjut di tengah Covid-19 ini pun dikritik oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia. Terlebih, ada usulan nama baru menjadi RUU Kemudahan Berinvestasi. “Sejak awal berniat memberikan karpet merah bagi investasi,” kata Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu A. Perdana pada Senin, 27 April 2020.
Bagi Walhi, investasi selama ini, khususnya di industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan terus menyebabkan kerusakan lingkungan dan hilangnya hak masyarakat. Argumentasi bahwa RUU Cipta Kerja sebagai solusi pandemi pun dinilai tidak berbasis fakta. “Alih-alih menjadi obat krisis, RUU ini justru akan melanggengkan krisis,” kata Wahyu.
Berbeda dengan Walhi, Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, mengatakan RUU Cipta Kerja merupakan langkah awal untuk reformasi ekonomi. Meskipun, kata dia, beleid omnibus law tersebut belum sempurna.
Menurut Yose, Indonesia punya permasalahan dengan regulasi terkait bisnis. Padahal investasi, kata dia, adalah kunci untuk meningkatkan tenaga kerja. Ia menyebut negara-negara lain di Asean telah lebih dulu membuat peraturan serupa. Vietnam, misalnya, ia menyebut sudah memiliki Project 30, sejak 2010. Ia mengklaim hasil kebijakan ini sudah terlihat di Vietnam
Malaysia dan Thailand juga, kata dia, telah melakukan hal serupa. Malaysia dengan program Pemudah sejak 2007, dan Thailand dengan Sunset Law pada 2015. "Thailand walau reformasi regulasi di sana tersendat karena politik, mereka mengeluarkan sunset law. Aturan ekonomi harus mendapat peninjauan kalau tidak akan dihilangkan. Ini sudah dilakukan negara Asean lain," ucapnya.
FAJAR PEBRIANTO