Dodi juga terkenang sikap rileks Arief ketika Gus Dur tiba-tiba datang ke pernikahan ia dan Santi. Sebelumnya, Arief mengatakan tak ingin mengundang agar tidak menyusahkan Gus Dur yang sibuk. Tak dinyana, Gus Dur yang tengah melintasi Salatiga memutuskan untuk mampir.
"Sama rileksnya, keduanya tersenyum dan saling berpelukan di halaman rumah Salatiga dan Gus Dur segera disalami sahabat-sahabat lainnya yang melingkar di teras rumah itu," kata Dodi.
Namun, Dodi mengimbuhkan, cerita humor itu sama banyaknya dengan cerita teror yang dialami Arief dan keluarganya. Bukan cuma pernah ditahan tanpa pengadilan pada 1971 karena menolak proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), teror terus dialami Arief hingga dekade kemudian.
Di awal 1990-an, ia memberikan komentar di sebuah koran atas karir melesat seorang jenderal yang menurutnya tak cocok dengan prestasi yang biasa-biasa saja. Besoknya, rumah Arief disatroni intel. Keluarga menemukan bangkai angsa piaraan dan benda-benda asing lainnya di halaman rumah selama sepekan.
Dalam memoarnya yang dimuat Majalah Tempo edisi 23 Juli 2012, Arief menceritakan kesulitannya pada mendapat pekerjaan di dalam negeri kendati bergelar doktor bidang sosiologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat pada 1980. Lamarannya menjadi dosen di sejumlah universitas negeri ditolak.
Cap sebagai oposan dan tukang protes masih melekat di dirinya. "Padahal saya sangat berharap bisa mengajar di dua kampus tersebut," kata Arief dalam memoar tersebut.
Kabar baik datang ketika Aristider Katoppo kemudian menawari Arief mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga. Pada 1994, Arief dipecat oleh Yayasan Satya Wacana. Pemecatan itu buntut dari protesnya kepada rektor dan pengunduran dirinya.
Arief mengirim surat kepada rektor tentang praktik penerimaan mahasiswa dengan sistem koneksi, dosen yang lalai mengajar, serta keterlibatan universitas dalam beberapa proyek negara. Isi surat juga menyangkut moralitas pejabat kampus yang terlibat dalam tender pengadaan barang yang menguntungkan diri sendiri. Surat itu, kata Arief, sebagai bentuk loyalitasnya kepada UKSW.
"Sekarang, saya hanya bisa mengenang keseharian Arief Budiman yang memiliki banyak sisi: kerap berhumor, menyenangi kesetaraan, menghidupi intelektualisme dan aktivisme, dan gemar melakukan pembangkangan," ujar Dodi.