TEMPO.CO, Jakarta -Pakar keamanan siber dari CISSReC, lembaga kajian sistem keamanan informasi, Pratama Persadha, menjelaskan penyebab rapat online via Zoom Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) pada Kamis kemarin bisa disusupi video porno. Pratama mengatakan, hal semacam ini sering disebut zoombombing dan terjadi berulang kali di seluruh dunia.
Zoombombing adalah bentuk ancaman pada para pengguna zoom. Para peretas masuk lewat link yang disebarkan maupun celah keamanan yang ada.
"Sekali masuk, para peretas bisa mengirimkan berbagai file dalam meeting tersebut. Hal inilah yang kemungkinan terjadi dalam zoom meeting di Wantiknas," ujar Pratama lewat keterangan tertulis pada Jumat, 17 April 2020.
Baru-baru ini, kata dia, lebih dari 500 ribu akun Zoom, termasuk yang berbayar diperjualbelikan di dark web. Banyak di antaranya adalah akun yang dimiliki oleh pemerintahan dan korporasi besar. Padahal, Zoom sudah mendapatkan berbagai kritikan atas keamanan sejak awal 2020.
Dengan kejadian tidak mengenakkan di rapat Wantiknas, menurut Pratama, sebaiknya jajaran Ring 1 Istana memakai alternatif lain, kemudian meminta Badan Siber dan Sandi Negara untuk memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang terkait dengan keperluan video konferensi.
Untuk jangka pendek, Pratama menilai penyelenggara negara perlu memakai aplikasi yang terbukti aman dan harus zero issues. Untuk jangka panjang, Indonesia harus mempunyai aplikasi video conference buatan anak bangsa yang aman dan bisa dipakai secara luas.
"Pemerintah melalui BSSN maupun Kominfo harus bisa melahirkan aplikasi video conference yang bisa dipakai oleh negara. Sehingga kita tidak tergantung dari luar," ujar dia.
Sebelumnya, Istana menyiasati peretasan dengan memakai aplikasi yang berganti-ganti dalam setiap rapat virtual Presiden Joko Widodo dan para menteri. Biasanya, Istana hanya menggunakan aplikasi Zoom.
"Karena aplikasi yang lalu, begitu dipakai oleh sidang kabinet, semuanya mengunakan aplikasi yang sama. Maka atas koordinasi dengan BSSN kami akan memakai aplikasi-aplikasi yang bergantian supaya tidak bisa dilacak oleh siapa pun," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Rabu, 15 April 2020.