TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mengungkap sejumlah alasan keraguannya terhadap proses penanganan kasusnya.
"Sebelumnya saya saat di Singapura, menjalani rawat inap, ada penyidik yang datang langsung dalam rangka meminta keterangan. Waktu itu memang proses pemeriksaan berbeda seperti di Indonesia," ucap Novel dalam siaran langsung di akun Instagram Amnesty Internasional Indonesia, Sabtu 11 April 2020.
Forum wawancara ini dilakukan untuk memperingati tiga tahun kasus Novel Baswedan yang belum terpecahkan. Sebelumnya, Polri telah menetapkan Rony Bugis dan Rahmat Kadir sebagai tersangka penyiraman air keras pada Desember 2019.
Menurut Novel, jika melakukan pemeriksaan di rumah sakit, maka harus atas sepengetahuan pihak rumah rumah, dan khususnya Pemerintah Singapura. Ia pun sempat menginformasikan kepada penyidik tersebut agar meminta izin terlebih dahulu.
Namun, sampai empat bulan Novel menjalani perawatan, proses izin pemeriksaan tidak pernah diperoleh. Sehingga proses pemeriksaan tak pernah dilakukan.
"Tapi di beberapa pemberitaan media Indonesia, dikatakan saya tidak kooperatif," kata dia. Justru yang sebenarnya terjadi adalah penyidik itu tidak pernah mengurus izin untuk melakukan pemeriksaan.
Ketika Novel kembali ke Indonesia, para tetangga yang kebetulan menjadi saksi, mendapat intimidasi. Padahal mereka merupakan saksi yang tahu persis kejadian penyerangan. Bahkan beberapa hari sebelum insiden, mereka melihat dan mendokumentasikan orang-orang mencurigakan tersebut.
Kemudian ketika polisi menangkap Rony dan Rahmat, para tetangga melapor kepada Novel. "Tetangga saya juga bilang, rasanya bukan itu pelakunya, pak. Lantas bagaimana? Saya harus percaya siapa?" ucap Novel.