TEMPO.CO, Jakarta - Ada ganjil dan hilang yang dirasakan Nina Widyawati dalam dua pekan belakangan. Ratih Purwarini, putrinya yang seorang dokter, tak lagi datang di akhir pekan seperti yang rutin dilakukan selama ini. Sulung dari empat bersaudara itu terakhir pulang ke rumah orang tuanya di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur pada 14-15 Maret silam.
"Tiap dua minggu dia pulang, tapi hampir setiap pagi dia menyapa saya dan bapaknya via WA atau telepon. Selamat pagi Yangti, selamat pagi Yangkung. Itu panggilan anak-anaknya kepada kami," kata Nina kepada Tempo, Rabu, 8 April 2020.
Di mata Nina, Ratih adalah sosok periang. Saat kecil, Ratih pernah bergabung dengan Sanggar Tari Swara Mahardhika milik Guruh Soekarnoputra. Sang ibu juga menyebut putrinya memiliki rasa kepedulian sosial terhadap orang-orang marjinal. Jika adik-adiknya mengadakan bakti sosial, Ratih turut mengambil bagian.
"Belakangan perhatiannya lebih banyak dicurahkan untuk perempuan korban kekerasan," kata Nina.
Ratih sempat bergiat di Komnas Perempuan pada 2014-2017 sebagai relawan unit pengaduan rujukan (UPR). Ia kemudian mendirikan Akara Perempuan, forum pengada layanan untuk perempuan korban kekerasan. Ia juga kembali berkuliah di Pusat Studi dan Kajian Gender Universitas Indonesia.
Nina mengatakan anak, menantu dan cucunya lengkap berkumpul pada medio Maret itu. Nina tak menyangka akhir pekan itu menjadi perjumpaan terakhirnya dengan Ratih. Dokter umum sekaligus Direktur Rumah Sakit Duta Indah Jakarta Utara itu meninggal pada 31 Maret lalu dalam status pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19.
Menurut Nina, dua hari setelah pertemuan terakhir tersebut, Ratih bercerita ada koleganya yang sakit. Sempat dikira Covid-19, Ratih sedikit lega karena rekannya itu ternyata sakit tifus. Namun dua hari berikutnya pada Kamis, 19 Maret, Ratih sudah tak masuk kantor lantaran tidak enak badan.
Pada Selasa, 24 Maret, Ratih bercerita ia menjalani pemeriksaan laboratorium di sebuah rumah sakit swasta di BSD, Tangerang Selatan. Seusai diperiksa, ibu dua anak itu menolak arahan rumah sakit untuk isolasi mandiri di rumah.
"Dia bilang, 'Aku enggak mau pulang, banyak yang meninggal itu yang disuruh isolasi mandiri, begitu parah cari rumah sakit enggak dapat'," kata Nina berkisah.
Menurut Nina, Ratih sangat menyadari bahaya Covid-19. Sang anak kerap menyampaikan informasi kepada Nina melalui pesan Whatsapp. "Mungkin dia merasa karena saya tua dan berisiko," ujar Nina.
Ratih pun dirawat di rumah sakit. Hari Kamis, ia menjalani pemeriksaan uap seperti yang dilakukan pada penderita asma. Dua hari berikutnya, Sabtu, 28 Maret, tiba-tiba rumah sakit menyatakan kondisi Ratih kritis. Rumah sakit juga angkat tangan lantaran tak punya ventilator.
Ratih sempat akan dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Duren Sawit, Jakarta Timur. Namun karena penuh, dia kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Pelni, Petamburan, Jakarta Pusat, atas bantuan seorang kenalan Nina. Ratih dibawa sudah dalam kondisi kritis.
Pada Selasa, 31 Maret pagi, kata Nina, dokter meminta keluarga bersiap-siap menghadapi situasi terburuk. "Manusia kan berharap ada mujizat, tapi, ya....," kata Nina, tak melanjutkan kalimatnya.