TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Komunikasi Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah, mengatakan Presiden Jokowi harus memperbaiki tata kelola komunikasi Istana yang dinilainya buruk dengan membuat semua pejabat diam. Selanjutnya Jokowi menunjuk resmi juru bicara utama dan tidak ada posisi lain yang bisa berfungsi sebagai Juru bicara selain yang utama ini.
"Jika membuat para staf diam terlalu sulit, maka tidak perlu sungkan memberhentikan semua staf yang justru membuat kelinglungan presiden," katanya.
Dedi berpendapat buruknya tata kelola komunikasi publik ini bukan perkara sederhana. "Karena berimbas pada kepercayaan publik pada presiden."
Presiden Joko Widodo atau Jokowi perlu juru bicara yang mumpuni. Alasannya sudah lama pemerintahan Jokowi mengalami kesulitan dalam komunikasi publik.
Menurut Dedi, pemerintahan Jokowi terlalu banyak juru bicara sehingga tidak terkoordinasi dengan baik. Para juru bicara ini tidak memahami kondisi dan pengetahuan Presiden. "Presiden hanya perlu juru bicara yang benar-benar punya pengetahuan tentang arah kebijakan presiden dan punya legitimasi kuat." Sehingga, tidak akan ada anulir dari lembaga lain.
Setiap orang bahkan menteri bisa saja mewakili diri sendiri, bukan lembaga yang ia wakili. Sering simpang siurnya informasi ini menandakan buruknya tata kelola komunikasi di lingkar Istana.
Yang terbaru, Menteri Sekretaris Negara Pratikno meralat pernyataan Juru Bicara Istana Fadjroel Rachman soal mudik lebaran saat pandemi Corona. Sebelumnya, Fadjroel menyampaikan jika Presiden Jokowi membolehkan masyarakat mudik ke kampung halaman asal mengkarantina diri selama 14 hari setibanya di kampung halaman.
Belakangan Pratikno menyebut ucapan Fadjroel kurang tepat. "Yang benar adalah: Pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak perlu mudik," kata Pratikno.