TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat sosial politik, Ubedilah Badrun, mengatakan pemerintah tidak memiliki tanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dengan memberlakukan kebijakan pembatasan sosial skala besar dalam menangani wabah Corona.
“Pemerintah tidak memiliki kewajiban menanggung kebutuhan dasar warganya,” kata Ubedilah kepada Tempo, Selasa, 31 Maret 2020.
Ubedilah menjelaskan, menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pembatasan sosial berskala besar dilakukan dengan penutupan mal, obyek wisata, terminal, dan bandara. Namun, mobilitas manusia masih dibolehkan di beberapa tempat.
Bedanya dengan kebijakan karantina wilayah, wilayah yang menjadi zona merah wabah Corona benar-benar ditutup, dijaga aparat, warga tidak boleh keluar rumah kecuali mendapat izin dari aparat. Selain itu, pemerintah menanggung kebutuhan dasar jika memberlakukan karantina wilayah. “Waktu karantina juga dibatasi sampai mata rantai penyebaran virus benar benar putus di suatu wilayah,” kata Ubeidilah.
Menurut Ubedilah, perbedaan paling tajam dari kedua kebijakan itu ialah karantina wilayah lebih tegas, terkontrol, efisien, dan kebutuhan dasar warga yang dijamin oleh pemerintah.
Adapun pembatasan sosial berskala besar sebetulnya juga sudah dijalankan dalam beberapa pekan terakhir ini. “Karena sudah mulai tutup terminal bus, tutup mal, tutup tempat hiburan yang banyak dikunjungi warga. Termasuk learning from home, work from home,” ujar Ubedilah.
Karena itu, pengajar di Universitas Negeri Jakarta ini menilai pemerintah kurang totalitas memahami UU Kekarantinaan Kesehatan. Padahal undang-undang tersebut memberi solusi cepat dan tepat. Misalnya, begitu wabah meluas di suatu wilayah, lalu melakukan pembatasan sosial dari skala kecil ke skala besar.
Kemudian dari karantina rumah sampai karantina rumah sakit. “Jika kondisi makin memburuk maka solusinya adalah karantina wilayah. Itu perintah Undang-Undang No 6 tahun 2018 pasal 53, 54, 55,” kata Ubeidilah.