TEMPO.CO, Jakarta - Rencana penundaan Pilkada 2020 di tengah wabah corona yang kini terjadi dianggap membutuhkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) sebagai payung hukum. Namun, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden atau KSP, Sigit Pamungkas, mengatakan ada dua kondisi di mana pemerintah menerbitkan Perpu.
"Pertama adalah ketika pemerintah lihat bahwa aktivitas Pilkada ini menjadikan virus corona tersebar luas," kata Sigit dalam diskusi daring bersama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ahad, 29 Maret 2020.
Proses Pilkada yang mengharuskan perkumpulan massa dalam jumlah banyak, kata dia, mungkin bisa jadi alasan pemerintah untuk mengeluarkan Perpu. Atau tahapan pemilu lain yang tak bisa dilakukan KPU karena terbatas oleh peraturan dalam undang-undang, maka pemerintah bisa menerbitkan Perpu.
Menurut Sigit kondisi lainnya adalah ketika penyelenggara pemilu menyatakan tidak mungkin lagi menyelenggarakan Pilkada. "Pada saat itu tentu harus bisa kami terbitkan," tuturnya.
Ketua KPU Arif Budiman dalam diskusi yang sama mengatakan lembaganya tengah mempertimbangkan opsi menunda Pilkada 2020 hingga September 2021 yang berarti ditunda setahun penuh. Penundaan hingga satu tahun ini menurutnya akan banyak berdampak pada hal lain.
Karena itu, kata Arif, diperlukan adanya perubahan Undang-Undang atau diubah melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). "Maka ketika ini diubah, tentu pasal itu perubahannya saya tidak tahu apakah pemerintah dan DPR akan merevisi Undang-Undang atau kalau mau cepat dan singkat tentu dengan Perpu," ucap dia.