TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Pemilihan Umum atau KPU, Evi Novida Ginting Manik melayangkan keberatan pada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memutuskan memecatnya. Ia menilai putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/2019 cacat prosedur, berlebihan, dan berpotensi menyalahgunakan wewenang.
"Terdapat cacat prosedur yang dilakukan oleh DKPP baik pada mekanisme beracara maupun dalam proses pengambilan keputusan," kata Evi dalam siaran persnya, Senin, 23 Maret 2020. Menurut dia pemecatan itu tidak saja telah mengesampingkan hukum tetapi juga telah secara nyata melanggar asas legalitas, sehingga putusan tersebut berpotensi melangar etika penyelenggara pemilu.
Alasannya, Majelis Sidang DKPP tidak pernah memeriksa keterangan pengadu dalam persidangan etiknya pada 13 November 2019 dan 17 Januari 2020. Pengadu atas nama Hendri Makaluasc justru mencabut laporannya pada sidang 13 November 2019 dan tidak menghadiri sidang berikutnya.
Atas dasar itu, kata Evi, kesimpulan Majelis Sidang DKPP yang menyebut telah memeriksa keterangan pengadu tidak benar. "Sehingga kesimpulan Majelis DKPP yang dijadikan dasar putusan dalam perkara 317-PKE-DKPP/2019 tidak beralasan hukum."
Alasan kedua, sikap DKPP yang tetap melanjutkan pemeriksaannya meski laporan telah dicabut itu berbeda dengan perkara lainnya. Ia mencontohkan DKPP pernah memutuskan tidak melanjutkan persidangan setelah ada surat pencabutan gugatan atau pengaduan seperti perkara dugaan pelanggaran kode etik.
Perlakuan yang berbeda ini, kata dia, membuka ruang subjektivitas karena tidak ada aturan dan ukuran yang jelas baik yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 maupun Peraturan DKPP untuk menentukan apakah satu aduan dapat diteruskan atau tidak jika pengadu mencabut aduannya.
Alasan ketiga, kata Evi, saat DKPP menggelar rapat pleno untuk memutuskan sanksi baginya anggota yang hadir tidak mencapai kuorum. Berdasarkan peraturan DKPP, rapat pleno putusan harus dilakukan tertutup dan dihadiri tujuh orang anggota DKPP. Dalam keadaan tertentu rapat ini bisa dihadiri paling sedikit lima orang. "Dalam memutuskan putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 rapat pleno hanya dihadiri oleh empat orang anggota DKPP."
"Keputusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 dibuat dengan cara yang terburu-buru, tidak cermat, tidak mempertimbangkan kuorum ini mestinya dinyatakancacat hukum dan harus dinyatakan batalkan demi hukum," ujarnya.
Sementara yang terakhir, Evi menganggap pertimbangan hukum DKPP yang menyatakan ia sebagai Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu memiliki tanggungjawab etik lebih besar atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan akibat penetapan hasil Pemilu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas dan kredibilitasnya berlebihan. Ia berdalih dalam mekanisme pengambilan keputusan di KPU dilakukan melalui mekanisme rapat pleno dengan prinsip kolektif kolegial.
Koordinator divisi hanya berfungsi mengkoordinasi, mengendalikan, membina, melaksanakan. “Gugus tugas divisi yang juga harus dipertangungjawabkan dalam rapat pleno."
Evi meminta DKPP Republik Indonesia membatalkan putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/2019. Ia juga meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi menunda pelaksanaan putusan DKPP itu.