TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah memastikan karantina wilayah atau lockdown hingga kini belum jadi pilihan dalam mengatasi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Doni Monardo mengatakan Indonesia masih memilih kebijakan imbauan social distancing.
“Masalah lockdown itu tidak usah lagi kita bahas. Kita harus patuh dengan keputusan pemerintah pusat. Bapak Presiden tidak akan memberikan status lockdown, cukup dengan social distancing (pembatasan interaksi sosial),” ujar Doni seusai rapat terbatas dengan presiden lewat video conference, Kamis, 19 Maret 2020.
Sebagai alternatif, pemerintah memilih melakukan rapid test atau tes massal. Kendati, alat rapid test ini belum tersedia di tanah air dan masih dalam proses impor dari beberapa negara.
Istilah lockdown diambil dari bahasa Inggris yang berarti terkunci. Jika dikaitkan dalam istilah teknis dalam kasus Corona atau COVID-19, arti lockdown adalah mengunci seluruh akses masuk maupun keluar dari suatu daerah maupun negara. Tujuannya agar virus Corona tidak menyebar lebih jauh lagi.
Jika suatu daerah dikunci, maka semua fasilitas publik harus ditutup. Mulai dari sekolah, transportasi umum, tempat umum, perkantoran, bahkan pabrik harus ditutup dan tidak diperkenankan beraktivitas. Aktivitas warganya pun dibatasi. Bahkan ada negara yang memberlakukan jam malam. Negara-negara yang menerapkan kebijakan ini adalah Cina, Italia, Denmark, Iran, dan lainnya.
Masyarakat yang khawatir terhadap penyebaran COVID-19 meminta lockdown melalui media sosial. Kemarin, di situs Twitter #Indonesia_LockdownPlease menjadi trending. "Jika lockdown dilakukan maka persiapkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada masyarakat menengah kebawah jadi rakyat tetap diperhatikan dengan sikon saat ini, jangan menunggu angka kasus #COVID19 semakin tinggi baru lakukan lockdown. #Indonesia_LockdownPlease," cuit akun @aneztama87.
"Jadi semakin menjadi jadi #Indonesia_LockdownPlease," tulis @AnggiiNaww sambil mengunggah data korban virus corona di Indonesia.
Pasien positif COVID-19 memang semakin bertambah di Indonesia. Per 19 Maret 2020, sudah ada 309 kasus. Dari 309 kasus, 25 orang meninggal. Penambahan jumlah kasus secara signifikan ini tersebar di sejumlah daerah, yang terbanyak masih di DKI Jakarta, yakni 52 pasien positif Covid-19.
Tim pakar Gugus Tugas Penanganan Virus Corona atau COVID-19, Wiku Adisasmito, mengatakan langkah karantina total atau lockdown, belum akan diambil pemerintah karena dapat berpengaruh besar pada roda ekonomi masyarakat. "itu memiliki impikasi ekonomi, sosial, dan impikasi keamanan. Oleh karena itu kebijakan itu belum bisa diambil pada saat ini," kata Wiku dalam konferensi pers di Kantor BNPB, Jakarta Timur, Rabu lalu, 17 Maret 2020.
Wiku mengatakan masyarakat seharusnya sudah paham bahwa Indonesia memiliki pekerja lapangan yang tinggi. Mereka hidup dari menggunakan upah harian. Karena itu, sistem lockdown jika diterapkan, akan sangat berpengaruh kepada mereka. "Itu salah satu yang menjadi kepedulian pemerintah, supaya aktivitas ekonominya bisa tetap berjalan. Dengan lockdown, semua orang ada di rumah dan aktivitas ekonominya sulit berjalan dan itu secara ekonomi berbahaya."
Staf Fakultas Kesehatan Masyarat Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan Indonesia dapat mengatasi Corona tanpa melakukan lockdown. Ia menyebut Indonesia dapat meniru pendekatan yang dilakukan oleh Korea Selatan, yakni meningkatkan kesehatan masyarakat. "Indonesia bisa meniru Korea tanpa melakukan lockdown, dengan penguatan public health, kita bisa atasi pandemik," kata Pandu saat dihubungi, Kamis.
Pandu mengatakan ide dasarnya sederhana. Indonesia harus melakukan penyaringan secara masif dan bisa menjangkau separuh orang yang sudah terkena virus. Setelah itu lakukan isolasi di rumah pada orang itu.
Cara ini, menurut dia, dapat membuat kurva kasus positif Corona lebih landai tanpa melakukan karantina wilayah atau lockdown. "Isolasi hanya yang hasil screening positif saja, karena kemungkinan banyak dan tidak ada gangguan respirasi, bisa diisolasi di rumah atau tempat yang bukan rumah sakit,"
Pandu menyarankan agar Indonesia melakukan tes massal ketimbang metode diagnosis untuk mengetes virus Corona. Alasannya metode diagnosis memerlukan waktu berhari-hari, berbeda dengan tes screening yang cepat membuahkan hasil. "Yang dilakukan sekarang sampai diagnosis. Karena kita tes massal, tidak perlu diagnosis pasti sampai gunakan genom sekuensing dan hasilnya berhari-hari, cukup tes untuk mengetahui apakah ada virus Corona, kita menemukan orang yang bisa diisolasi."
AHMAD FAIZ | DEWI NURITA | EGI ADYATAMA | FIKRI ARIGI