TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Ma’ruf Amin menanggapi sejumlah desakan masyarakat agar Presiden Joko Widodo atau Jokowi mencopot Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Menurut dia, pencopotan jabatan menteri merupakan hak prerogatif presiden.
“Tapi kalau menurut saya, dalam situasi gawat seperti ini di mana kita menghadapi ancaman wabah Corona yang sudah mengancam dunia, termasuk Indonesia, sebaiknya kita tidak saling menuduh, menuding, tidak saling menyalahkan,” kata Ma’ruf di rumah dinas wakil presiden, Jakarta, Rabu, 18 Maret 2020.
Ma’ruf meminta masyarakat saling menjaga suasana agar tenang. Selain itu, ia menyarankan agar sesama warga saling mengedukasi agar masyarakat semakin memahami bahaya virus Corona atau Covid-19.
“Kita semestinya saling bahu membahu, bergandeng tangan, bersama bekerjasama bagaimana menghadapi ancaman virus Corona ini,” kata Ma'ruf.
Desakan agar Jokowi mencopot Terawan sebelumnya disuarakan Koalisi Masyarakat Sipil. Salah satu anggota koalisi yang juga aktivis Migrant Care, Anis Hidayah, mengatakan sejak awal wabah Corona muncul, Terawan menunjukkan sikap pongah, menganggap enteng, anti-sains, serta memandang rendah persoalan. Hal ini berakibat pada hilangnya kewaspadaan.
"Kami mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk mengganti Menkes Terawan dengan figur yang lebih paham kesehatan publik, punya kepekaan krisis, yang akan memandu kita melewati krisis kesehatan terburuk ini," kata Anis dalam keterangan tertulis, Selasa, 17 Maret 2020.
Anis dan kalangan aktivis lain mencatat beberapa kesalahan mendasar yang Terawan lakukan. Pertama, ia menyatakan pasien yang sembuh dari Covid-19 akan imun. Padahal, menurut Anis pengalaman di negara lain menunjukkan hal sebaliknya.
Kedua, kata Anis, Terawan gagal mengkoordinasikan rumah sakit agar sigap dalam pemeriksaan dan penanganan Covid-19. "Termasuk memastikan ketersediaan dana/anggaran dan alat, menjaga mutu/kualitas kerja tenaga kesehatan, tenaga administrasi, pusat data dan informasi di RS, terutama di waktu krisis sekarang" ujarnya.
Ketiga, adanya monopoli pemeriksaan sampel hasil tes swab Corona di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta yang memperlambat respons tanggap darurat Corona.