TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan penyebab Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan mengalami defisit. Menurut KPK, penyebab defisit Jaminan Kesehatan Nasional merupakan paduan antara permasalahan pada aspek penerimaan dan pengeluaran BPJS kesehatan.
Menurut KPK, BPJS Kesehatan tak efektif melakukan pembatasan pengguna jasa. "Pembatasan manfaat yang ada cakupannya terlalu sempit, tidak dapat menjadi instrumen untuk pengendalian biaya dalam pengelolaan JKN dan memberikan dampak negatif," kata Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron di kantornya, Jakarta, Jumat, 13 Maret 2020.
Selain itu, KPK menyebut permasalahan juga ada pada peserta mandiri. Ia mengatakan sejumlah peserta menggunakan layanan JKN tapi menunggak iuran. "Ada permasalahan moral hazard dan adverse selection pada peserta mandiri. Sejumlah peserta menggunakan layanan JKN kemudian tidak membayar iuran," kata dia.
Pemborosan pembayaran pada standar rumah sakit juga menjadi penyebab defisit ini. Ghufron mencontohkan ada rumah sakit yang mengklaim pembayaran tak sesuai dengan layanan yang ia berikan. Ia mencontohkan pembayaran pasien yang dirawat di ruang perawatan kelas 3, namun pihak rumah sakit mengklaim sebagai pembayaran ruang kelas 2. "Pembayarannya jadi lebih tinggi," kata dia.
Kelemahan sistem verifikasi BPJS kesehatan juga menjadi penyebab defisit BPJS menurut KPK. Masih terdapat kelemahan pada sistem verifikasi BPJS kesehatan. Menurut temuan KPK, diagnosa kehamilan pada pasien laki-laki masih lolos verifikasi dan dibayarkan BPJS.
Ghufron mengatakan sejumlah hal inilah yang menyebabkan BPJS mengalami defisit Rp 12,2 triliun pada 2018. Ghufron mengatakan menaikan iuran BPJS bukan solusi, bila inefisiensi masih terjadi. "Belum tentu dianikan iuran dapat menjadi solusi defisit BPJS," kata dia.