TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengkritik keputusan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi menghapus religiusitas dari nilai dasar KPK. "Dewas sedang melakukan proses sekularisasi dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK," kata Arsul melalui pesan teks, Senin, 9 Maret 2020.
Dalam Kode Etik pimpinan KPK yang baru, nilai dasar religiusitas diganti dengan sinergitas.
Baca Juga:
Arsul mengatakan Dewan Pengawas KPK bahkan bisa dianggap mengabaikan sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Dewas juga bisa dinilai menganggap agama tidak penting dalam kerja pemberantasan korupsi.
Arsul mengaku tak tahu persis alasan Dewan Pengawas KPK menghapus nilai religiusitas itu. Namun dia menduga keputusan ini bisa jadi karena mereka alergi dengan berkembangnya isu adanya kelompok berjenggot, celana cingkrang, dan Taliban di KPK.
Isu yang diidentikkan dengan radikalisme itu sempat berkembang di tengah revisi Undang-undang dan pemilihan pimpinan KPK. Isu tersebut meredup setelah dua agenda itu rampung di Dewan Perwakilan Rakyat.
Menurut Arsul, isu tersebut tak bisa dijadikan alasan. Menurut politikus partai kakbah ini, perihal berjenggot, celana cingkrang, dan paham keagamaan yang dianut kalangan tertentu di KPK tak perlu dipermasalahkan. Apalagi dipergunakan sebagai alasan menghilangkan nilai religiusitas.
Anggota Komisi Hukum DPR ini mengatakan, yang harus diawasi oleh Dewan Pengawas adalah proses penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. Dewan Pengawas, kata dia, harus memastikan tak ada tebang pilih, limitasi proses hukum, atau kemandekan proses hukum. "Jadi bukan soal paham keberagamaan orang KPK apalagi soal cara berpakaian atau tampilan fisiknya."
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean sebelumnya menjelaskan nilai dasar baru KPK itu diperlukan karena terjadi perubahan dalam UU KPK. UU KPK baru, kata dia, mengharuskan lembaganya melakukan kerja sama, koordinasi, dan supervisi dengan lembaga negara lainnya. "Bahkan disebut juga operasi bersama," kata Tumpak di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, 5 Maret 2020.
Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri mengatakan penghapusan itu tak bertujuan untuk menangkal isu radikalisme di dalam tubuh KPK. Isu radikalisme diembuskan di media sosial saat revisi UU KPK dan pemilihan calon pimpinan KPK tengah berlangsung. Isu itu lenyap setelah dua proses yang penuh polemik itu selesai. "Penghapusan itu hasil diskusi dengan para ahli," kata dia.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | ROSSENO AJI