TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Haris Azhar menilai materi omnibus law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja hanyalah gabungan dari sejumlah RUU yang ditolak masyarakat melalui demonstrasi pada September 2019.
Ia pun mengingatkan belum ada penegakan hukum atas meninggalnya lima pemuda dan jatuhnya ribuan korban kekerasan oleh aparat.
"RUU omnibus Cipta Kerja ini hanya gabungan dan ganti nama. Namun isinya cacat moral!" kata Haris dalam surat jawaban menolak menghadiri undangan pertemuan dari Kantor Staf Presiden, Selasa, 3 Maret 2020. Haris mempersilakan surat tersebut dikutip.
Haris mengatakan pembahasan RUU Cipta Kerja selama ini tak sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Maka, dia menyebut apapun yang dibahas saat ini menyangkut RUU itu adalah cacat hukum.
Lokataru juga menyayangkan sikap pemerintah yang dianggap melanggar hukum dan tidak taat pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan tidak transparan.
"Bahkan mengedepankan represifitas dengan meminta Polri dan BIN menggagalkan upaya masyarakat sipil dalam mengkritik RUU ini, dalam berbagai bentuk," kata Haris.
Menurut Haris, wajib hukumnya menolak RUU sapu jagat itu karena sudah cacat prosedur dan melanggar berbagai prinsip rule of law dan hak asasi manusia. Ia pun mengingatkan pemerintah dan DPR sebaiknya tak melanjutkan pembahasan omnibus law tersebut.
Haris mengimbuhkan, pembahasan oleh pemerintah dan DPR serta undangan pertemuan dari Istana itu berpotensi menjadi penyalahgunaan uang negara. Lokataru juga menolak surat jawaban ini dianggap sebagai bentuk partisipasi masyarakat sipil.