TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah komunitas transpuan di Yogyakarta yang tergabung dalam Ikatan Waria Yogyakarta menolak Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketahanan Keluarga. Mereka menyebut rancangan aturan ini berpotensi mendiskriminasi, persekusi, dan berbagai bentuk kekerasan terhadap kalangan minoritas.
Aktivis Ikatan Waria Yogyakarta, Rully Malay mengatakan RUU tersebut membuat sebagian besar transpuan di Yogyakarta khawatir memberi ruang untuk kelompok intoleran melakukan berbagai bentuk aksi kekerasan maupun persekusi.
“RUU Ketahanan Keluarga akan memunculkan persekusi dan kekerasan baru di banyak daerah,” kata Rully seusai audiensi dengan Dinas Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa, 25 Februari 2020.
Di Yogyakarta terdapat setidaknya 360 transpuan yang berhimpun dengan Ikatan Waria Yogyakarta. Jumlah tersebut belum termasuk waria yang tidak tercatat. Sejumlah transpuan, kata Rully, masih belum berani mengungkapkan identitas mereka di tengah stigma dan diskriminasi.
Rully berpandangan RUU Ketahanan Keluarga antikeberagaman identitas gender dan berbahaya untuk kelompok minoritas. Waria di Yogyakarta pernah mengalami persekusi dan kekerasan pada 2016. Di tahun itu, organisasi masyarakat intoleran mendatangi Pesantren Waria Al-Fatah di Kotagede Yogyakarta.
Gelombang kebencian terhadap transpuan banyak bermunculan di daerah karena dipicu oleh pernyataan para pejabat negara yang mendiskriminasi waria. Dampaknya para santri waria ketakutan dan terganggu dalam beribadah, seperti membaca Al Quran dan salat.
Rully yang juga aktif di Yayasan Kebaya menyebutkan setidaknya di Indonesia terdapat 37 ribu lebih waria. RUU Ketahanan Keluarga mengancam keberadaan ribuan waria di seluruh Indonesia. Sebagian dari mereka belum mendapatkan penerimaan dari keluarga, masyarakat, dan hak-haknya sebagai warga negara.
Rully mencontohkan belum semua waria mengakses layanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Sebagian dari mereka belum mendapatkan layanan publik mendasar, seperti tak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) hanya karena identitas gender.
Pemimpin Pesantren Waria Al-Fatah Kotagede Yogyakarta, Shinta Ratri mengatakan RUU Ketahanan Keluarga mengabaikan keberadaan transpuan sebagai fakta sosial di banyak tempat di Indonesia.
RUU ini rentan menjadi pintu kriminalisasi bagi waria karena mengatur rehabilitasi warga berperilaku LGBT, sadisme, dan sadomasokisme sebagai penyimpangan seksual. “Mengancam waria dan bisa melahirkan kekerasan,” kata Shinta.