TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat hukum dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Andi Syafrani mengatakan banyak negara sebenarnya sudah kapok menggunakan model omnibus law.
Andi mengatakan omnibus law ini biasanya dipakai di negara-negara dengan sistem common law, sedangkan Indonesia menganut sistem civil law. Negara-negara yang kapok itu menganggap proses pembuatan omnibus law jauh dari proses demokrasi yang deliberatif atau deliberative democracy.
"Bahkan mereka nyebut model omnibus ini undemocratic (tidak demokratis)," kata Andi dalam diskusi membahas omnibus law di kawasan Senayan, Jakarta, Sabtu, 22 Februari 2020.
Alasannya, kata Andi, sering kali tak ada cukup waktu untuk membahas hukum dan bernegosiasi terhadap aspek-aspek yang penting di sana, baik itu dengan publik dan kepada pembuat hukum. Dewan Perwakilan Rakyat di negara-negara tersebut terkesan dipaksa untuk membahas dan menyetujui usulan undang-undang omnibus ini.
"Jadi legislatif itu semacam di-faith accomply, ini loh kami punya UU tebel begini, kalian tolong selesaikan dalam waktu cepat," kata Andi.
Andi mengatakan omnibus law ini biasanya juga sukses dibuat di negara-negara dengan latar belakang politik tertentu. Yang pertama adalah adanya dukungan kuat kepada pengusul.
Di negara dengan sistem presidensial kuat yang didukung mayoritas parlemen, Andi menyebut omnibus law ini berpotensi sukses.
Kedua, ada ancaman di luar politik yang dijadikan alasan bahwa omnibus law ini penting, yakni kondisi ekonomi. Ketiga, ancaman ekonomi ini membuat pemerintah merasa berkejaran dengan waktu sehingga omnibus law harus segera dibuat.
Andi menuturkan, istilah omnibus law ini secara teoritik sudah ada sejak akhir abad 19, yakni pada 1888. Namun omnibus law baru digunakan secara implementatif di Amerika Serikat pada 1950, yakni The Omnibus Appropriations Act.
Pemerintah Indonesia tengah menggagas tiga omnibus law, yakni RUU Cipta Kerja, RUU Perpajakan dan RUU Ibu Kota Negara. RUU Cipta Kerja yang drafnya telah diserahkan kepada DPR menuai kritik karena dinilai hanya memberikan karpet merah kepada pengusaha, tetapi merugikan buruh dan pekerja.