TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional atau BKKBN, Hasto Wardoyo, menilai Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketahanan Keluarga tidak bisa menjadi solusi untuk tingginya angka perceraian di Indonesia.
“Kalau mencari penyebab orang cerai cukup rumit, tidak bisa selesai dengan regulasi,” kata Hasto saat ditemui Tempo di kantornya, Jakarta, Jumat, 21 Februari 2020.
Hasto mengatakan, penyebab pasangan suami istri bercerai paling tinggi terjadi karena ketidakcocokan, kemudian masalah ekonomi, dan perselingkuhan.
Berdasarkan data dalam naskah akademik RUU Ketahanan Keluarga, angka perceraian mengalami tren peningkatan. Misalnya, pada 2016 angka perceraian mencapai 365.654, pada 2017 meningkat menjadi 374.516, dan pada 2018 mencapai 408.202.
Masih berdasarkan data yang diambil dari Badan Pusat Statistik itu, penyebab terbanyak kasus perceraian karena perselisihan dan pertengkaran 44,8 persen, diikuti masalah ekonomi 27,17 persen, dan suami atau istri pergi 17,55 persen, kekerasan dalam rumah tangga 2,15 persen, dan mabuk 0,85 persen.
Menurut Hasto, aturan-aturan dalam RUU Ketahanan Keluarga yang sedikit berhubungan untuk mencegah perceraian adalah bimbingan konseling pranikah. Poin tersebut tertuang dalam Pasal 17, yaitu setiap laki-laki dan perempuan calon pasangan menikah berkewajiban untuk mengikuti pendampingan pra perkawinan.
Pengusul RUU Ketahanan Keluarga, Ali Taher mengatakan perceraian menjadi alasan RUU ini dibuat. Tingkat perceraian saat ini, kata dia, pada rata-rata kabupaten tidak kurang dari 150-300 per bulan.
Ali mengatakan perceraian itu menimbulkan persoalan hak asuh anak, mengancam masa depan anak dan masa depan keluarga. Sehingga, hal ini perlu perhatian dari Pemerintah.
Anggota DPR Fraksi PAN itu menjelaskan, alasan utama seorang pasangan bercerai adalah karena faktor ekonomi. Ali mengatakan kini banyak pengangguran dan PHK yang berakibat secara akumulatif terhadap faktor ekonomi keluarga, sehingga beban hidup menjadi tinggi.
Ali menegaskan, hal-hal tersebut menunjukkan tren rapuhnya keluarga. Banyak pengasuhan dini dan perceraian dini itu menunjukkan keluarga yang rapuh. “UU itu menjadi sangat penting bagi kita untuk dilanjutkan agar persoalan ketahanan keluarga bisa menjadi alternatif pemecahan masalah sosial yang dihadapi oleh keluarga."