TEMPO.CO, Jakarta - Polemik terkait Rancangan Undang-undang atau RUU Ketahanan Keluarga memunculkan kekhawatiran tersendiri bagi Nico, bukan nama sebenarnya. Anak angkat dari seorang transpuan ini cemas aturan itu bakal membawa imbas buruk bagi keluarga seperti dirinya, jika disahkan.
"Kalau RUU ini lolos, bagaimana keluarga-keluarga yang spesial kasusnya seperti saya? Tekanan dan stigma akan semakin didapat keluarga ini," kata Nico kepada Tempo, Kamis, 20 Februari 2020.
Nico merupakan anak angkat dari pasangan transpuan. Dia tak tahu bagaimana ayah tirinya bisa menikah dengan seorang transpuan. Yang jelas, kata dia, keduanya kemudian berpisah saat ia duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Setelah itu, Nico tinggal bersama sang "Ibu".
Ada sejumlah poin yang menjadi sumber kekhawatiran Nico jika aturan ini disahkan. Mulai dari pembagian peran suami dan istri, di mana suami adalah kepala keluarga sedangkan istri wajib mengurus rumah tangga. Sampai pendefinisian penyimpangan seksual dan kewajiban lapor serta rehabilitasi bagi orang-orang yang dianggap 'menyimpang'.
Nico mengatakan sejauh ini, ia tak pernah mengalami tekanan dari lingkungan tempat mereka tinggal di sebuah kota besar di Kalimantan. "Sehingga saya bisa tumbuh normal. Ibu saya juga sangat care terhadap pendidikan saya. Saya rasa itu juga karena tekanan hidup ibu saya rendah pada saat itu di tempat tersebut," kata Nico.
Sang ibu menaruh perhatian besar hingga Nico lulus dari sebuah universitas ternama di Indonesia. Kini, dia bekerja di salah satu organisasi nirlaba di bidang pergerakan anak muda di Jakarta.
Nico pun tak terbayang jika RUU Ketahanan Keluarga itu sampai disahkan menjadi undang-undang. Ia was-was stigma buruk tentang transpuan akan menguat.
Menurut Nico, situasi politik dalam beberapa tahun belakangan juga membuat kelompok minoritas gender harus hidup sembunyi-sembunyi. Transpuan-transpuan muda yang memutuskan mengadopsi anak belakangan ini juga tak sepenuhnya hidup tenang.
Dia mengatakan kondisi ini terjadi semenjak isu gender mulai dijadikan gorengan politik. "Kehidupan transpuan hari ini beda dengan dua puluh tahun lalu yang lumayan adem ayem. Jadi aku enggak bisa bayangin bagaimana kehidupan anak-anak mereka saat ini," ucap Nico.
Draf RUU Ketahanan Keluarga ini juga ingin mewajibkan keluarga untuk melaporkan apabila ada anggotanya yang 'menyimpang' secara seksual menurut definisi di atas. "Misalnya aku seorang gay, lalu ibuku seorang transpuan harus melaporkan anaknya, kan complicated. Menurutku, lebih baik negara mengurusi hal-hal yang lebih urgent," kata Nico.
Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di salah satu universitas di Jakarta ini juga menyoroti pengkategorian lesbian, gay, sadisme, dan masokisme sebagai penyimpangan seksual. Merujuk Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ), Nico menyebut homoseksualitas bukan termasuk penyimpangan.
"Jadi sebelum menggunakan suatu istilah yang akan dipakai dalam RUU, sebaiknya baca lagi daripada salah," ujar dia.
RUU Ketahanan Keluarga ini diusulkan oleh Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera, Sodik Mudjahid dari Gerindra, Endang Maria Astuti dari Golkar, dan Ali Taher dari Partai Amanat Nasional.
Belakangan, sejumlah partai menyatakan tak menyetujui adanya RUU ini. Partai-partai yang sudah menyatakan tak setuju adalah Partai NasDem, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Golkar.