TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional atau BKKBN Hasto Wardoyo menilai perlu ada harmonisasi terhadap sejumlah pasal dalam draf Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketahanan Keluarga.
“Saya bukan kurang setuju ya, tapi perlu diharmonisasi lagi,” kata Hasto saat ditemui Tempo di kantornya, Jakarta, Jumat, 21 Februari 2020.
Hasto mengatakan, ada sejumlah pasal yang menjadi perhatian BKKBN. Misalnya pasal 25 yang mengatur kewajiban suami dan istri. Ia mengatakan masalah tugas suami dan istri semestinya tidak perlu diatur secara rigid atau kaku.
“Menuangkan tupoksi secara rigid dan detail di UU mengandung risiko. Karena kalau namanya wajib lalu tidak dilaksanakan, jangan-jangan ada sanksinya. Itu konsekuensi UU,” kata Hasto.
Selain itu, Hasto melihat narasi dalam pasal tersebut seolah-olah menimbulkan perbedaan antara tugas suami dan istri. Padahal, kata Hasto, menjaga keutuhan rumah tangga menjadi tugas bersama suami dan istri.
Baca Juga:
“Mungkin nanti spiritnya bagaimana antara suami istri itu bersama-sama. BKKBN kan mendorong keluarga menjadi keluarga tentram, mandiri, dan bahagia. Kebersamaan dalam keluarga," kata Hasto.
Hasto mengatakan negara tidak perlu mengintervensi situasi keluarga yang bersifat privasi. Namun campur tangan pemerintah bisa dalam keterkaitannya dengan masalah kesejahteraan agar sesuai dengan visi BKKBN, yaitu mewujudkan keluarga berkualitas. “Keluarga berkualitas di dalamnya adalah keluarga yang punya ketahanan yang tinggi,” kata dia.
Draf RUU Ketahanan Keluarga ini diusulkan oleh Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera, Sodik Mudjahid dari Gerindra, dan Ali Taher dari Partai Amanat Nasional. RUU ini menuai kontroversi lantaran sejumlah pasalnya dianggap mengatur ranah privat, seperti hak dan kewajiban suami dan istri serta kewajiban anak.