TEMPO.CO, Jakarta-Ketua Perempuan Mahardika Mutiara Ika Pratiwi menilai Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketahanan Keluarga sebagai tandingan dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang hingga saat ini mandek. RUU PKS dinilai bisa jadi aturan yang membebaskan perempuan, sebaliknya RUU Ketahanan Keluarga bisa mendomestikasi perempuan.
“Saya lihat adalah RUU ini (Ketahanan Keluarga) jelas menjadi tandingan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Itu secara politik yang saya lihat itu,” kata Mutiara di kantor Walhi, Jalan Tegal Parang, Kamis, 20 Februari 2020.
Baca Juga:
Menurut Mutiara dasar usulan RUU Ketahanan Keluarga adalah untuk mengatasi dampak kekerasan seksual. Padahal, kata dia, sudah sejak lima tahun lalu aktivis perempuan berjuang untuk mengesahkan RUU PKS, sebagai solusi kebijakan atas maraknya darurat kekerasan seksual.
Adapun RUU Ketahanan Keluarga, kata dia, tiba-tiba muncul dengan semangat yang sama, namun dengan substansi yang bertolak belakang. “RUU ini sebagai upaya untuk mengatasi dampak kekerasan seksual. Itu kan sangat jelas. Bagaimana memang semangat dari RUU ketahanan keluarga ini untuk menandingi RUU PKS,” ucapnya.
RUU Ketahanan Keluarga diusulkan oleh lima anggota parlemen, yakni Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera, Sodik Mudjahid dari Gerindra, Endang Maria Astuti dari Golkar, dan Ali Taher dari Partai Amanat Nasional.
Beberapa hal yang ingin diatur di antaranya kewajiban suami istri untuk saling mencintai, kewajiban suami istri, dan kewajiban anak untuk menghormati orang tua. Menurut Mariana, urusan kewajiban suami istri dan anak itu sebenarnya sudah berlaku sejak dulu melalui nilai-nilai yang ditransfer lewat agama, pendidikan, dan masyarakat.
FIKRI ARIGI