TEMPO.CO, Jakarta - Pengusul Rancangan Undang-undang atau RUU Ketahanan Keluarga dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ledia Hanifa mengatakan RUU itu menjaga hubungan ikatan keluarga sedarah. RUU ini juga menjaga kejelasan asal-usul keturunan sesuai dengan nilai norma agama. Karena itu, RUU Ketahanan Keluarga mengatur dengan tegas larangan donor sperma dan ovum, serta surogasi.
"Donor sperma dan ovum serta surogasi (ibu pengganti), menafikan ikatan keluarga sedarah, dan asal-usul keturunan," kata Ledia melalui siaran pers pada Kamis, 20 Februari 2020.
Menurut Ledia, pada dasarnya ketentuan pasal terkait larangan donor sperma, ovum dan surogasi ini sesuai dengan UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009, pasal 1320 KUHPerdata sekaligus dengan memperhatikan fatwa MUI yang melarang praktek-praktek itu.
Ledia mengatakan RUU ini disusun dalam bingkai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkait dengan hak warga negara berkeluarga dalam Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1).
Bila dicermati secara keseluruhan, kata dia, pasal demi pasal dalam ini adalah upaya pelindungan dan dukungan bagi keluarga-keluarga Indonesia. "Untuk dapat berkembang menjadi keluarga tangguh secara mandiri."
RUU Ketahanan Keluarga diusulkan oleh lima anggota parlemen, yakni Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera, Sodik Mudjahid dari Gerindra, Endang Maria Astuti dari Golkar, dan Ali Taher dari Partai Amanat Nasional.
Draf RUU Ketahanan Keluarga itu mendefinisikan krisis keluarga sebagai suatu kondisi tidak stabil, tidak terarah, dan dianggap membahayakan karena dapat membawa perubahan negatif pada keluarga. Krisis keluarga disebut dapat terjadi karena masalah ekonomi, tuntutan pekerjaan, perceraian, penyakit kronis, kematian anggota keluarga, dan penyimpangan seksual. Draf ini dikritik banyak kalangan.