TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), Elena Ekarahendy, menilai alasan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly soal salah ketik Pasal 170 omnibus law Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja, merupakan argumen klise.
“Ya saya pikir ini juga sangat templat ya. Argumentasi yang sebenarnya membuktikan bahwa motivasi mereka atau latar belakang mereka dalam menyusun Undang-Undang ini tidak saintifik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” ucap Elena selepas diskusi di kantor Walhi, Jalan Tegal Parang, Jakarta, Kamis 20 Februari 2020.
Elena mengatakan jawaban salah ketik sangat menghina warga negara. Karena RUU Cipta Kerja ini menyangkut kepentingan banyak orang. Namun, justru ada kesalahan sederhana seperti salah ketik.
“Saya pikir itu adalah sesuatu yang sangat konyol sekali untuk bisa mangkir atau beri argumen tentang apa yang sebenarnya mereka sampaikan,” katanya.
Yasonna Laoly mengatakan Pasal 170 dalam draf RUU Cipta Kerja yang menyebut bahwa pemerintah bisa mengubah undang-undang melalui peraturan pemerintah (PP) adalah kesalahan.
Ia menduga ada kesalahan dalam penulisan pasal terkait. "Ya ya. Enggak bisa dong PP melawan Undang-Undang. Peraturan perundang-undangan itu," kata Yasonna saat ditemui di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin, 17 Februari 2020.
Berikut bunyi Pasal 170 Rancangan UU Cipta Kerja, “Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.”
Pasal 170 ayat (2) dijelaskan bahwa perubahan ketentuan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Lalu ayat selanjutnya menyebut dalam rangka penetapan PP ini Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.