TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis perempuan sekaligus pegiat hak asasi manusia (HAM), Nisrina Nadhifah Rahman mempertanyakan maksud gagasan lima anggota Dewan Perwakilan Rakyat membuat Rancangan Undang-undang atau RUU Ketahanan Keluarga. Nisrina menganggap gagasan itu aneh.
"Kesan pertamanya udah super aneh. Ketahanan dan keluarga, emang mau bangun basis militer di keluarga atau bagaimana," kata Nisrina kepada Tempo, Kamis, 20 Februari 2020.
Ia membeberkan sejumlah catatannya mengenai terkait draf RUU yang telah ditetapkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 ini. Dia menyoroti pembagian peran suami istri, pengasuhan anak, hingga definisi krisis keluarga yang hendak diatur dalam aturan itu.
Nisrina mengatakan keluarga adalah ranah privat setiap orang. Negara, ujar dia, baru bisa mencampuri misalnya ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga. "Setiap keluarga punya cara dan pola pendidikannya sendiri, interaksinya sendiri, karakter, orang-orangnya beda-beda sifatnya dan segala macamnya. Bukan ranah negara untuk mencampuri."
RUU Ketahanan Keluarga diusulkan oleh lima anggota parlemen, yakni Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera, Sodik Mudjahid dari Gerindra, Endang Maria Astuti dari Golkar, dan Ali Taher dari Partai Amanat Nasional.
Draf RUU itu mendefinisikan krisis keluarga sebagai suatu kondisi tidak stabil, tidak terarah, dan dianggap membahayakan karena dapat membawa perubahan negatif pada keluarga. Krisis keluarga disebut dapat terjadi karena masalah ekonomi, tuntutan pekerjaan, perceraian, penyakit kronis, kematian anggota keluarga, dan penyimpangan seksual.
"Kebutuhan tiap keluarga berbeda, beragam, dan ada banyak aspek yang menentukan apakah sebuah keluarga bisa disebut krisis atau enggak," kata Nisrina.
Ketua Badan Pengurus Perkumpulan Pamflet Generasi, organisasi nirlaba di bidang pergerakan anak muda, ini juga menyoroti adanya pasal soal penyimpangan seksual dalam draf RUU Ketahanan Keluarga. Lesbian, gay, sadisme, dan masokisme disebut sebagai penyimpangan seksual yang wajib lapor dan harus direhabilitasi.
Nisrina mengatakan orientasi seksual adalah spektrum dan bagian dari keberagaman manusia. Adapun sadisme dan masokisme, kata dia, adalah perilaku seksual yang tak perlu dipersoalkan selama dilakukan sesuai kesepakatan. "Tolong deh kalau enggak ngerti-ngerti banget soal seksualitas, soal gender, enggak usah deh bikin pasal soal rehabilitasi. Ini bukan penyakit, bukan virus yang bisa ditanggulangi dengan cara demikian," ujar mantan staf Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ini.