TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) asal Partai Persatuan Pembangunan atau PPP Arsul Sani meminta kritik terhadap Rancangan Undang-undang atau RUU Ketahanan Keluarga tak disampaikan dengan nada ujaran kebencian.
"Silakan saja berbagai elemen masyarakat menyampaikan pendapatnya, yang paling penting tidak usah dengan ujaran kebencian lah," kata Arsul di Kompleks Parlemen pada Rabu, 19 Februari 2020.
Arsul menjelaskan, mengusulkan RUU merupakan kewenangan konstitusional anggota DPR yang mesti dihormati. Namun, jika RUU itu disahkan sebagai inisiatif, Arsul menyebut diperlukannya ruang konsultasi dan ruang partisipasi publik. "Harus dibuka, sebab kalau bicara aspirasi, itu kan yang masuk ke DPR boleh dibilang tidak pernah tunggal," ujarnya.
Arsul mengatakan, meski banyak pihak yang mengkritik isi dari RUU ini, dia mengklaim banyak pula elemen masyarakat yang berharap adanya RUU yang bisa membentengi sebuah keluarga.
Misalnya, kata Arsul, benteng itu diperlukan dari paham radikal yang mengarah kepada intoleransi. "Tidak semua paham radikal jelek, tapi kalau yang mengarah kepada intoleransi, apalagi kekerasan, ini yang harus di cegah," ujarnya.
Arsul menyebut dia mengetahui sejumlah pasal yang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, yakni peran wanita, dan kewajiban istri dalam sebuah keluarga. "Itu kan baru usulan dari pengusul, belum tentu juga akan bunyi kalau Undang-undang disahkan."
Seperti diketahui, draf RUU ini diusulkan oleh Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera, Sodik Mudjahid dari Gerindra, Endang Maria Astuti dari Golkar, dan Ali Taher dari Partai Amanat Nasional. Kelimanya merupakan anggota DPR Komisi VIII periode 2014-2019.
Hingga kini sejumlah pasal dikritik sejumlah pihak lantaran dinilai mengganggu ranah privasi, seperti aturan pemidanaan pendonor sperma dan ovum, pengaturan terhadap perilaku masokis, dan aturan rehabilitasi pada LGBT.