TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti The Indonesian Institute Aulia Guzasiah menilai pembuatan omnibus law RUU Cipta Kerja cacat prosedur.
"Proses pembuatan omnibus law cacat karena dibuat tertutup," kata Aulia di Kantor PBNU, Jakarta, hari ini, Selasa, 18 Februari 2020.
Menurut Aulia, ada seorang anggota tim satuan tugas (satgas) omnibus law yang mendatangi Ombudsman dan menyampaikan bahwa tim satgas dipaksa menandatangani pakta rahasia.
Tim satgas dilarang menyebarluaskan isinya ketika menyusun draf omnibus law tersebut.
Aulia menilai tim satgas omnibus law lebih banyak diisi kalangan pengusaha dan minim partisipasi masyarakat.
"Jadi tidak heran substansi muatannya dikatakan menguntungkan pemodal. Satu sisi justru menggerus hak-hak pekerja."
Dari substansi juga ada banyak kelucuan. Salah satunya menghidupkan kembali pasal yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, yaitu ketentuan presiden bisa membatalkan peraturan daerah melalui peraturan presiden.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 166 draf aturan omnibus law UU Cipta Kerja. Menurut Aulia, meski terdengar sepele dampak aturan itu bisa disalahgunakan.
Aulia juga mendapati RUU Cipta Kerja menyimpang dari konsep omnibus law. Dia menyebutkan, pada aturan peralihan mengamanatkan omnibus law itu harus ada peraturan pelaksananya.
Jika disisir dari pasal per pasal, setidaknya ada 500 peraturan pelaksana yang harus dibuat oleh kementerian terkait dalam waktu satu bulan. Padahal, tujuan utama membuat omnibus law untuk menyederhanakan peraturan perundang-undangan.