TEMPO Interaktif, Jakarta: - Tentang Supriyadi yang memimpin pemberontakan Tentara Pembela Tanah Air (Peta) pada 1945 yang dikabarkan meninggal, dijelaskan sejarawan sekaligus Direktur Pusat Studi Sejarah dan Ekonomi Politik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T. Wardaya, mengatakan Supriyadi masih hidup saat itu. "Supriyadi tidak mati," tandasnya saat dijumpai Tempo.
Keyakinan Baskara didasarkan pada beberapa bukti sejarah. Pada 6 Oktober 1945, Presiden Soekarno menyusun kabinet yang kali pertama. Soekarno mengangkat Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat. "Yang pasti Soekarno mengangkat Supriyadi sebagai menteri, berarti Supriyadi ada," tandas penulis buku "Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno."
Bukti kedua, pada 20 Oktober 1945, Supriyadi diangkat Soekarno sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat. Bukti ketiga, Soekarno tidak pernah mengangkat Supriyadi sebagai pahlawan nasional jika memang Supriyadi telah mati pada saat itu. "Jangan-jangan Soekarno melihat, dia (Supriyadi) masih hidup.” Apabila Supriyadi telah mati, menurut Baskara, mesti telah menjadi sebuah peristiwa publik, di mana banyak orang merasa kehilangan, Keluarga bersedih, misalnya.
Sedangkan pendeklarasian Supriyadi sebagai pahlawan nasional baru dilakukan pada masa rezim Orde Baru, pada 1975. Berbagai versi sejarah mengumumkan bahwa Supriyadi telah mati setelah pemberontakan. Ada yang menyatakan, kematiannya akibat muksa alias hilang raga sehingga tidak ditemukan raganya.
Ada pula yang cerita ia terjun ke kawah Gunung Kelud, atau dieksekusi tentara Jepang di kawasan Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Adik tiri Supriyadi dari Blitar, Oetomo Darmadji mengatakan Supriyadi meninggal akibat tertembak. Di sisi lain, terkait polemik apakah Supriyadi yang benar adalah Supriyadi versi Blitar, Jawa Timur: Supriyadi putra dari Bupati Blitar, Darmadji. Ataukah Supriyadi kelahiran Salatiga yang kini berdomisili di Semarang dengan nama Andaryoko?
Baskara hati-hati memberi jawaban. Menurut dia, lebih baik diserahkan saja kepada masyarakat untuk menilai, maupun kepada Andaryoko sendiri, namun tetap berpikir kritis. Narasi sejarah di Indonesia banyak didominasi oleh narasi versi penguasa untuk melegitimasi kekuasaan.
Andaryoko mempunyai foto-foto semasa masih muda, juga foto-fotonya dengan keluarganya, serta saat menjadi tentara Peta. Sebilah samurai yang dimilikinya. bentuknya melengkung, salah satu keloksinya. Menurut pengakuan Andaryoko kepada Baskara, samurai itu dirampasnya saat berhasil membunuh seorang tentara dalam pemberontakan Peta. Sedangkan samurai yang lurus biasa dimiliki tentara Peta yang dibuat di Bandung alias produk lokal. "Kita harus kritis," ingat Baskara.
Pito Agustis Rudiana