TEMPO.CO, Jakarta - Pembina Federasi Guru dan Tenaga Honorer Swasta Indonesia (FGTHSI) Didi Suprijadi meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merevisi salah satu syarat pembayaran guru honorer dengan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah atau dana BOS.
“Saya minta syarat NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dihilangkan dulu,” kata Didi dalam diskusi Polemik Trijaya di Hotel Ibis, Jakarta, Sabtu, 15 Februari 2020.
Dalam kebijakan penyaluran dan penggunaan dana BOS yang baru, pembayaran honor guru honorer dapat menggunakan dana BOS. Syaratnya, guru sudah memiliki NUPTK, belum memiliki sertifikasi pendidik, serta sudah tercatat di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sebelum 31 Desember 2019.
Masalahnya, kata Didi, tidak semua guru honorer memiliki NUPTK. Sebab, pemerintah daerah enggan menerbitkan SK NUPTK tersebut.
“Karena dianggap kalau keluarkan NUPTK dianggap mengakui guru honorer. Lah itu jadi persoalan padahal dia guru mengajar di sekolah-sekolah negeri. Tapi dia (pemda) enggak mau mengakui. Kerjaannya disuruh kerja iya, tapi statusnya tidak diakui. Zolim enggak? Zolim,” kata Didi.
Dari total 1,1 juta guru honorer di seluruh Indonesia, menurut Didi, baru 100 ribuan orang yang sudah memiliki NUPTK. Sejumlah pemda yang peduli dan mau mengeluarkan NUPTK di antaranya Sidoarjo, Probolinggo, Blitar, Magelang, dan Subang.
Menurut Didi, persyaratan terdaftar dalam Dapodik saja sebetulnya cukup. Sebab, guru dan tenaga kependidikan yang sudah terdata dalam Dapodik artinya sudah bekerja minimal dua tahun. Sehingga, guru yang baru masuk pada 2020, tidak akan masuk di data tersebut. "Di Dapodik sudah jelas, mengajarnya, mata pelajarannya, basecamp-nya, namanya, semua jelas di Dapodik. Jadi dengan data Dapodik insya Allah tidak akan keliru,” kata Didi.