TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi dilantik oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada Rabu, 5 Februari 2020. Rektor UIN Sunan Kalijaga ini sebelumnya dikenal cukup kontroversial karena melarang penggunaan cadar selama aktivitas di kampus. Ia mengancam akan mengeluarkan mahasiswi yang nekat mengenakan cadar jika sudah tujuh kali diperingatkan dan dibina.
Sepekan setelah dilantik, Yudian kembali menuai polemik. Kali ini, pernyataannya yang menyebut agama jadi musuh terbesar Pancasila ramai diperbincangkan di jagat Twitter. Yudian pun menanggapi dengan santai polemik tersebut saat ditemui Tempo di Kantor BPIP, Jakarta, pada Kamis, 13 Februari 2020. Berikut petikan wawancaranya:
Pernyataan Anda tentang agama jadi musuh terbesar Pancasila menuai polemik. Bagaimana Anda menanggapinya?
Kalau saya menanggapi polemik sebagai sesuatu biasa saja, dalam arti perlunya tukar pikiran, masukan. Orang kritik silakan, kami terima. Jadi sikap saya sebagai polemik itu sesuatu yang wajar saja. Tidak perlu saya perbesar sebagai masalah pribadi. Barangkali ada yang terputus dari konteksnya.
Maksud Anda?
Yang saya maksud begini, saya mengatakan dari semua yang termahal di republik ini persatuan. Nah, tanpa persatuan maka tidak ada republik ini. Buktinya kita terjajah, kalau hitungan saya, 1511, Ternate 1512, sampai 1945. Persatuan dimulai, kalau bahasa saya, pemuda-pemuda Indonesia itu punya mukjizat pertama namanya Sumpah Pemuda. Dari situ lah pergeseran dari gerakan-gerakan sporadis menjadi gerakan nasional.
Perlu diingat kata mukjizat itu bahasa Arab. Kalimat pendek tapi mampu mengalahkan siapapun yang menantang. Maksud saya di zaman penjajahan, tiga kalimat sumpah pemuda itu pendek sekali tapi mampu mengalahkan penjajah. Sehingga 17 tahun kemudian kita punya negara sebesar ini. Ini maksud saya harus disyukuri.
Apa kaitannya antara agama dengan Pancasila?
Nah, sekarang itu yang saya bilang, kita harus kembali ke konsensus. Mengapa? Orang beragama, khususnya Islam, harus sudah mulai menerima kenyataan bahwa hukum Tuhan tertinggi yang mengatur kehidupan sosial politik itu bukan kitab suci, ya, dalam kitab. Jadi kalau Islam bukan Quran dan hadist dalam kitab, tapi adalah konsensus atau ijma.
Contoh simpel bagaimana?
Muhammadiyah tidak ziarah, NU ziarah. Masing-masing punya alasan, dalil-dalil Quran, dalil-dalil hadist. Tapi, kan, mereka berbeda pendapat. Karena ini perspektif NU, ini perspektif Muhammadiyah. Ini belum dikomunikasikan, belum dibersamakan. Nah, maka perlu jalan penengahnya. Apa itu titik temu di tengah? Namanya konsensus.
Misal bikin MoU Muhammadiyah dengan NU terdiri dari 3 pasal. Muhammadiyah tidak ziarah, NU ziarah. Pasal kedua, saling menghormati dan tidak saling menyerang. Pasal ketiga, siapa pun yang melanggar akan kena sanksi. Yang sanksi tentu yang membuat MoU ini. Tanda tangan PBNU, PP Muhammadiyah. Ini yang saya maksud konsensus itu.