TEMPO.CO, Jakarta - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak aturan baru tentang skema pengupahan dalam omnibus law Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja (omnibus law).
Dalam pasal 88C draft RUU tersebut berbunyi; Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat (2) dijelaskan lebih lanjut bahwa upah minimum sebagaimana disebut di atas merupakan upah minimum provinsi (UMP).
Dengan kata lain, aturan ini memungkinkan skema pengupahan dengan meniadakan upah minimum kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), dan menjadikan UMP sebagai satu-satunya acuan besaran nilai gaji.
"Kalau hanya UMP, maka buruh yang saat ini upahnya mengacu UMK akan dirugikan," ujar Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar S. Cahyono saat dihubungi Tempo pada Jumat, 14 Februari 2020.
Sebagai contoh, kata Kahar, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menetapkan UMP 2020 sebesar Rp 1,81 juta atau naik 8,51 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1,6 juta. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan UMK di sejumlah kabupaten/kota lain di Jawa Barat. Misalnya, UMK 2020 di Kabupaten Karawang Rp 4.594.324, di Kota Bekasi Rp 4.589.708, sementara di Kabupaten Bekasi sebesar Rp. 4.498.961.
Belum lagi, kata Kahar, formula penghitungan upah minimum baru yang diatur dalam draft omnibus ini, kenaikan upah hanya dikali persentase pertumbuhan ekonomi. "Aturan ini lebih buruk dari PP 78, yang kenaikannya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi," ujar dia.
Sebagai contoh, jika menggunakan perhitungan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, berdasarkan Surat Kepala BPS Nomor B-246/BPS/1000/10/2019 Tanggal 2 Oktober 2019, inflasi pada tahun ini sebesar 3,39 persen, dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12 persen. Maka, kenaikan UMP/UMK 2020 adalah 8,51 persen.
"Kalau hanya pertumbuhan ekonomi, berarti naiknya hanya 5,12 persen. Tentu ini merugikan buruh," ujar Kahar.