TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah membentuk tim khusus untuk mengidentifikasi orang Indonesia diduga menjadi pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) atau teroris lintas negara atau foreign terrorist fighters (FTF). Langkah ini merupakan tindak lanjut dari hasil rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo, pada Selasa, 11 Februari 2020 lalu. "Ada satgas (telah dibentuk). Pak Suhardi Alius, Kepala BNPT yang memimpin untuk menyiapkan seluruh perangkat," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat ditemui di rumah dinasnya, di Jalan Denpasar Raya, Jakarta Selatan, Rabu, 12 Februari 2020.
Tim telah bergerak memverifikasi 689 nama-nama orang Indonesia yang menjadi teroris antarnegara. Nama-nama itu didapat dari hasil penjaringan beberapa lembaga yang menjadi sumber informasi Kemenko Polhukam, seperti Badan Intelejen Negara (BIN), Badan Intelejen Strategis (BAIS), hingga Badan Intelejen Amerika Serikat CIA.
Berasal dari berbagai sumber, nama-nama di daftar itu sangat simpang siur. Dari total nama itu, Mahfud mengatakan hanya ada 288 yang telah terkonfirmasi dan memiliki kelengkapan data nama, alamat, juga nomor paspor. Sisanya, informasi yang ada hanya separuhnya saja. "Tak semua identitas bisa dikenali secara lengkap," kata Mahfud.
Kepastian data ini menjadi salah satu hal yang diputuskan dalam rapat bersama Presiden Joko Widodo pada Selasa, 11 Februari 2020, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. Keputusan pertama adalah mengedepankan keselamatan rakyat Indonesia, yang berhubungan dengan keputusan kedua, yakni tidak memulangkan seluruh teroris lintas negara ke Indonesia. "Yang ketiga, mencari data yang valid dari data yang berbeda-beda," kata Mahfud.
Validasi data ini juga, yang akan sekaligus menyaring mana yang tak terlibat sama sekali dengan kelompok teroris, dan yang pernah terlibat dan berusaha pulang ke Indonesia. Jika merasa bukan bagian dari ISIS atau teroris lintas negara dan bisa dibuktikan, Mahfud mempersilakan siapapun WNI yang sedang ada di uar negeri untuk pulang.