TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Timur Tengah dan Terorisme dari Universitas Indonesia Muhammad Syauqillah mengungkapkan program deradikalisasi yang ideal bagi sekitar 600 WNI eks ISIS jika mereka dipulangkan.
"Sinergitas. Ketika dia ditangkap maka berjalannya proses deradikalisasi. Mulai dari penangkapan, penyidikan, sampai di lapas, di luar lapas harus dilakukan dan harus multi stakeholder," kata Syauqillah di Kampus UI Salemba, Jakarta, hari ini, Selasa, 11 Februari 2020.
Dia menegaskan, proses deradikalisasi dan pemberdayaan narapidana perkara terorisme tak bisa hanya dilakukan oleh dan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas), melainkan seluruh kementerian dan lembaga mesti terlibat.
"Maka di situ lah harus dilakukan program berdasarkan assesment."
Program berdasarkan assement itu, kata Syauqillah, merupakan program di sejumlah bidang yang bisa memberdayakan para napi teroriis, seperti bidang kewirausahaan.
Bidang pemberdayaan lainnya juga bisa disiapkan berdasarkan penilaian profil per orang yang dilakukan sebelumnya.
Menurut Syauqillah, seluruh hasil assement profil masing-masing WNI eks ISIS harus terekam sejak proses penegakan hukum di Kepolisian, Kejaksaan, pengadilan, hingga lapas.
Setelah keluar dari lapas, semua proses program deradikalisasi harus terekam dan bisa dibaca.
"Jadi, oh dia ini seperti ini, maka intervensinya (bidang pemberdayaannya) seperti ini, pribadinya seperti ini. Maka apa yang dilakukan pemerintah itu cocok dengan apa yang mereka inginkan dan dapatkan."
Adapun pemerintah memutuskan tak akan memulangkan 689 WNI eks ISIS di luar negeri ke Indonesia.
Menko Polhukam Mahfud Md. mengatakan bahwa keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan keamanan bagi 267 juta penduduk di Indonesia.
"Pemerintah tidak ada rencana memulangkan teroris, bahkan tidak akan memulangkan foreign terrorist fighter(FTF) ke Indonesia," ujar Mahfud Md di Kompleks Istana Bogor, Jawa Barat, pada hari ini, Selasa, 11 Februari 2020.