TEMPO.CO, Jakarta - Eks Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mochammad Jasin mengatakan proses pengajuan dan pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) menjadi salah satu hal penting yang harus diperhatikan oleh hakim Mahkamah Konstitusi.
"Pada waktu pengajuan, ada atau tidak naskah akademik, lengkap tidak, prosesnya kan harus terstruktur. Kemudian saat pelaksanaan, apakah sudah disetujui semua fraksi, dan sebagainya," kata Jasin usai mengikuti sidang lanjutan pengujian UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada Senin, 3 Februari 2020.
Jasin melihat, prosedur ini tak bisa serta merta disepelekan. Ia pun menagih pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperlihatkan berkas administrasi pendukung.
Misalnya, daftar tanda tangan anggota DPR yang hadir dalam sidang atau rekaman persidangan, sampai ada atau tidak acuan data negara lain yang memiliki Dewan Pengawas. "Intinya proses pengajuan, pembahasan, dan persetujuan ini. Kalau materiil, sifatnya kan argumentatif," kata Jasin.
Selain itu, Jasin juga menyayangkan sikap pemerintah dan DPR yang tak menjawab ketika koalisi masyarakat sipil bertanya tentang ada tidaknya ajakan kepada KPK dan masyarakat untuk terlibat dalam proses pembahasan revisi kepada DPR.
"Partisipasi masyarakat tadi ditanya tapi enggak dijawab. KPK dilibatkan tidak? Itu juga tadi tidak dijawab," ucap Jasin.
Hari ini, 3 Februari 2020, Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan uji formil Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebelumnya, 13 pemohon telah mengajukan untuk melakukan pengujian secara formil UU 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sudah disahkan. Salah satu pemohon adalah mantan pimpinan KPK periode 2015-2019 yang menilai pembentukan UU tersebut cacat formil.