TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM menyebut aturan soal izin penyadapan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana KorupsiKorupsi (UU KPK) dibuat untuk memberikan kepastian hukum.
Staf Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Agus Hariadi, yang mewakili Presiden Joko Widodo atau Jokowi, mengatakan pemberian kepastian hukum dalam izin penyadapan telah sesuai dengan Pasal 12B.
"Pasal 12B mengatur tentang tata cara pemberian izin penyadapan dan tindakan penyidikan yang secara tegas diatur dengan UU bertujuan untuk memberikan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum," kata Agus saat mengikuti sidang lanjutan pengujian UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada Senin, 3 Februari 2020.
Agus mengatakan, penyadapan sebenarnya perbuatan yang ilegal secara hukum. Ia beralasan, penyadapan bisa digunakan untuk kejahatan. Namun, jika dihadapkan dengan penegakan hukum, penyadapan bisa digunakan sebagai bagian dari rangkaian penyelidikan dan penyidikan suatu kasus.
"Untuk mendapatkan legalnya sesuatu yang dilarang menurut hukum, maka diperlukan suatu izin sehingga yang semula dilarang dapat menjadi tidak dilarang," ujar Agus.
Agus mengatakan Dewan Pengawas KPK memiliki kewenangan untuk membuat penyadapan menjadi legal. "Ketentuan Pasal 12B terhadap Dewan Pengawas untuk memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, merupakan norma yang dilandaskan bahwa penyadapan merupakan perbuatan yang secara umum dilarang atau ilegal," kata Agus.
Agus mengatakan sebelum ada izin dari dewan pengawas atau Dewas KPK penyadapan merupakan perbuatan yang ilegal dan tidak sesuai kaidah hukum.
"Sehingga dalam revisi pasal a quo, bertujuan untuk menyempurnakan substansi tentang kewenangan penyadapan untuk diatur sesuai dengan kaidah hukum sehingga sesuai dengan aturan," kata Agus.
Hari ini, 3 Februari 2020, Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang lanjutan uji formil Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK)dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Gugatan ini diajukan oleh 13 orang aktivis dan pegiat antikorupsi termasuk mantan pimpinan KPK periode 2015-2019.