TEMPO.CO, Jakarta-Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid mengecam peristiwa perusakan bangunan tempat ibadah di Perunahan Griya Agape, Tumaluntung, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Yenny mengatakan tempat yang diberi nama Musala Al-Hidayah itu sebenarnya sedang dalam proses perizinan untuk secara resmi menjadi rumah ibadah bagi warga Muslim setempat.
"Wahid Foundation mengecam tindak perusakan tempat ibadah yang tidak hanya mengakibatkan kerugian material tetapi juga mengoyak wajah toleransi antar umat beragama dan elemen bangsa," kata Yenny dalam keterangan tertulis, Jumat, 31 Januari 2020.
Yenny menuturkan insiden perusakan, penyegelan, dan penutupan tempat ibadah merupakan bentuk pelanggaran yang masih terus muncul setiap tahun. Insiden perusakan tempat ibadah di Tumaluntung, Minahasa Utara, ini pun semakin menjadi catatan buruk bagi perlindungan hak beragama di Indonesia.
"Kami ingin kembali mengingatkan semua pihak untuk merawat kebhinekaan kita, menghargai, dan melindungi perbedaan. Mayoritas-minoritas hanya soal angka, tetapi semua punya hak yang sama di hadapan Konstitusi kita," ujar Yenny.
Yenny melanjutkan, kebijakan-kebijakan dan aturan-aturan yang dibuat para pengambil kebijakan harus mencerminkan usaha penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak-hak warga negara.
Dia berujar, proses perizinan formal tak boleh menghilangkan hak warga untuk menjalankan agama dan keyakinannya. "Kita tidak boleh diskriminatif. Minoritas-mayoritas sama-sama berhak dilindungi," ujar dia.
Wahid Foundation pun mendorong aparat hukum untuk mengusut insiden tersebut secara tuntas dan transparan. Polisi juga diminta menindak tegas para pelaku. Berikutnya, Wahid Foundation mendukung upaya pejabat, aparat, dan komponen masyarakat setempat yang sigap merespon situasi di lapangan sehingga tidak berkembang menjadi eskalasi konflik lebih lanjut.
Yenny juga mengimbau masyarakat luas untuk senantiasa menahan diri, menjaga kejernihan dan selalu memeriksa ulang setiap informasi yang beredar, sehingga tidak mudah terpancing oleh berbagai bentuk provokasi yang tidak bertanggug jawab.
Selanjutnya, putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini mendorong pemerintah meninjau ulang peraturan tentang pendirian tempat ibadah. Dia mendesak agar aturan yang ada lebih menitikberatkan pada perlindungan hak beragama dan beribadah setiap warga negara, tanpa diskriminasi sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945.
Insiden perusakan tempat ibadah di Tumaluntung ini sebelumnya beredar melalui video. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Utara Komisaris Besar Jules Abraham Abast mengatakan obyek perusakan adalah balai pertemuan, bukan musala.
Dalam video itu terlihat sebuah spanduk yang bertuliskan penolakan warga menolak pendirian musala atau masjid dengan tiga alasan. Pertama, penduduk di sekitar lokasi 95 persen di antaranya merupakan non-Muslim. Kedua, warga terganggu dengan suara toa yang dianggap bising. Ketiga, warga tak mau terancam tindak pidana penistaan agama karena memprotes kebisingan toa.
BUDIARTI UTAMI PUTRI