TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum ISEA Watch (Independence Supreme Audit Watch) Zindar Marbun menggugat Presiden Jokowi ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada hari ini, Kamis, 30 Januari 2020.
Zindar menggugat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 101/P TAHUN 2019 tanggal 09 Oktober 2019 tentang Pemberhentian Dengan Hormat dan Peresmian Keanggotaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia.
Kuasa hukum Zindar, Nurmadjito, mengatakan gugatan ini dilayangkan lantaran kliennya menilai pemilihan anggota BPK dilakukan dengan tidak cermat.
"Kami menggugat ketidakcermatan mereka. Tidak ada panitia mandiri seperti panitia seleksi," kata Nurmadjito kepada Tempo hari ini, Kamis, 30 Januari 2020.
Nurmadjito menjelaskan selama pemilihan anggota BPK hingga periode ketiga ini, fit and proper test dilakukan sendiri oleh DPR.
Menurut informasi yang didapatnya, fit and proper test itu dilakukan sebatas formalitas dan tidak mendalami penilaian integritas, profesionalitas, dan independensi calon anggota BPK.
Dia juga menyebut kliennya mempermasalahkan keanggotaan BPK yang didominasi oleh mantan politikus dan pihak yang tidak jelas kriterianya.
Dia lantas menyebutkan dari 67 calon anggota BPK yang ikut seleksi, tercatat dua orang politikus dan mantan anggota BPK periode 2014-2019.
Ada pula empat anggota atau mantan anggota DPR, DPD, dan politikus Selain itu, satu orang ketua umum partai politik, serta tiga pejabat eselon I aktif BPK.
Nurmadjito mengungkapkan ada pula satu tenaga ahli BPK, dua mantan pejabat eselon I BPK, satu mantan hakim adhoc tindak pidana korupsi, dan dua mantan Pejabat Eselon II BPK, dan satu politisi mantan anggota DPR yang tidak terpilih dalam Pemilu Legislatif 2019.
Terpilihlah 5 angggota terpilih yang BVPK yang didominasi mantan anggota DPR dan politilus. Mereka adalah Pius Lustrilanang, Daniel Lumban Tobing, Hendra Susanto, Achsanul Qosasi, dan Harry Azhar Azis.
Menurut Nurmadjito, itu semua terjadi karena mereka dipilih oleh anggota DPR.
"Persoalannya, anggota BPK bertugas memeriksa. Yang diperiksa itu umumnya politikus juga, bisa satu partai. Khawatir ada conflict of interest," ujarnya.
Nurmadjito berharap pengadilan membatalkan Keppres Nomor 101/2019. Dia juga meminta pengadilan memerintahkan tergugat atau Presiden Jokowi mencabut keppres tersebut.