TEMPO.CO, Jakarta - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal menerapkan aturan baru soal pemanggilan saksi-saksi yang akan diperiksa. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan, mereka telah sepakat agar penyidik melaporkan saksi-saksi yang akan dipanggil serta pertimbangan pemanggilan.
"Kami tidak mau ada praktik pemanggilan saksi yang hanya didasarkan dari pertimbangan penyidik, tapi pimpinan harus mengetahui dalam kapasitas apa seorang saksi dipanggil," kata Nawawi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 27 Januari 2020.
Nawawi juga mempersoalkan lamanya pemeriksaan saksi, yang menurut pemberitaan media tertulis belasan jam. Padahal menurut dia, berita acara pemeriksaan paling tebal hanya 6-7 lembar saja. Dia mempertanyakan apa saja yang digali penyidik hingga pemeriksaan berjalan belasan jam.
Ke depannya, kata Nawawi, mereka ingin penyidik sudah memiliki daftar pertanyaan yang akan diajukan. Dia menilai dengan begitu KPK bisa mengirit waktu pemeriksaan.
Bukan cuma itu, Nawawi berujar pimpinan KPK menginginkan agar saksi yang dipanggil tak perlu terlalu banyak. Dia mencontohkan, ada perkara yang sampai melibatkan 80-100 saksi. Mantan hakim ini menilai persidangan cukup mendengar 20 orang saksi saja.
"Kami juga sudah meminta kepada pimpinan agar pemanggilan saksi terhadap perkara agar jangan terlalu banyak-banyak. Berkas jadi tebal," kata dia.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan saksi-saksi yang dipanggil KPK selama ini kerap menerima sanksi sosial. Dia juga tak sepakat dengan pemeriksaan yang berjalan lama. Mantan Deputi Penindakan KPK ini sekaligus menyorot profesionalisme penyidik.
"Mencari penyidik tulen, profesional, itu sulit. Pelatihan satu sampai dua bulan, enggak dapat," kata dia.
Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebenarnya telah mengatur bahwa penyidik memiliki kewenangan untuk memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka.
Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK (UU KPK anyar) pun, penyidik hanya diwajibkan melaporkan penyadapan yang sedang berlangsung kepada pimpinan KPK secara berkala. Hal ini tertuang dalam Pasal 12C.
Di sisi lain, pimpinan KPK menurut undang-undang baru pun bukan merupakan penyidik dan penuntut umum. Status mereka adalah pejabat negara.
Dalam rapat dengar pendapat kemarin, sejumlah anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat mempermasalahkan pemanggilan saksi ini. Politikus Demokrat Mulyadi mengatakan, status saksi rentan digunakan untuk menjatuhkan ketika sedang gelaran pemilu.
Setali tiga uang dengan yang disampaikan anggota Komisi III dari Partai Kebangkitan Bangsa Jazilul Fawaid. Dia meminta KPK mengklarifikasi kepada publik soal saksi-saksi yang pernah diperiksa jika kasusnya sudah selesai. Kedua politikus ini sebelumnya sama-sama pernah diperiksa komisi antikorupsi.