TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok masyarakat sipil memberikan catatan terkait rencana pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Rencana revisi ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
"Revisi itu semangat utamanya harus dalam kerangka reformasi militer, baik secara internal maupun eksternal," kata Peneliti Bidang Hukum dan HAM Setara Institute, Ikhsan Yosarie kepada Tempo, Sabtu, 25 Januari 2020.
Ikhsan mendesak agar revisi UU TNI ini tak justru menjadi kemunduran dari upaya mereformasi militer. Dia mengkritik rencana pemerintah yang justru ingin menambah usia kerja prajurit dan memperluas jabatan sipil untuk TNI.
Menurut Ikhsan, perubahan usia prajurit yang direncanakan naik dari 53 ke 58 tahun ini bakal berimplikasi ke banyak hal. Salah satunya ialah penumpukan prajurit dan perwira nonjob. Selain berimbas pada masalah anggaran, kata dia, hal ini juga bisa menjadi dalih untuk memperluas cakupan jabatan sipil untuk tentara.
"Pasca Orde Baru kita menarik TNI kembali ke barak, tapi dalam revisi kembali mau memasukkan mereka ke jabatan-jabatan sipil," kata dia.
Staf Divisi Pembelaan HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Falis Agatriatma menyampaikan hal senada. Menurut Falis, revisi UU TNI harus dilakukan untuk mempertegas tugas dan fungsi TNI di bidang pertahanan. Menurut dia, selama ini banyak pelibatan militer dalam kehidupan sipil yang sebenarnya melanggar UU TNI itu sendiri.
Falis mencontohkan, ada banyak nota kesepahaman TNI dan lembaga sipil. Salah satunya adalah pelibatan TNI dalam program sosialisasi keluarga berencana (KB).
"MoU-MoU yang dibuat itu juga sudah menyalahi UU TNI itu sendiri, tapi hingga saat ini mereka seperti tidak peduli akan hal itu," kata Falis kepada Tempo, Sabtu, 25 Januari 2020.
Dalam konteks hak asasi manusia, Falis mengatakan salah satu yang mendesak diubah dari UU TNI adalah peradilan militer. Menurut dia, anggota TNI yang melakukan tindak pidana semestinya diadili di peradilan umum, bukan peradilan militer. "Karena sifat impunitas masih ada kalau diadili di peradilan militer," ujar dia.