TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melaporkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ke KPK atas dugaan perintangan penyidikan terhadap tersangka kasus suap di KPU, Harun Masiku.
"Kami melihat ada keterangan yang tidak benar disampaikan oleh Yasonna," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana di Gedung Merah Putih KPK pada hari ini, Kamis, 23 Januari 2020.
Yasonna dilaporkan melanggar Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang menghalang-halangi, menggagalkan, menyembunyikan pelaku dalam konteks penyidikan akan diancaman pidana maksimal 12 tahun penjara.
Selain ICW, sejumlah organ yang tergabung dalam Koalisi Antikorupsi adalah YLBHI, PUSAKO, KontraS, MaTA, TII Sahdar, SEKNAS FITRA, PERLUDEM, PSHK, Imparsial
JATAM, SAFE.net, LBH Jakarta dan Lokataru.
Laporan Koalisi atas Yasonna telah diterima oleh KPK dengan memberikan Tanda Bukti Penerimaan Laporan/Informasi Pengaduan Masyarakat dengan Nomor Agenda 2020-01-000112 pada Kamis, 23 Januari 2020.
Menurut Kurnia, Yasonna Laoly mengatakan bahwa tersangka kasus suap di KPU, Harun Masiku, telah keluar dari Indonesia pada 6 Januari 2020 dan belum ada data Harun Masiku kembali ke Indonesia.
Bahkan, dia melanjutkan, kepulangan Harun Masiku pada 7 Januari 2020 sudah diungkap oleh Tempo. Namun informasi itu dianggapnya tidak ditindaklanjuti oleh Kementerian Hukum dan HAM.
"Karena ini sudah masuk penyidikan per 9 Januari 2020, harusnya tidak menjadi hambatan bagi KPK untuk menindak Yasonna dengan pasal 21 tersebut."
Direktorat Jenderal Imigrasi baru mengakui kepulangan Harun pada Rabu, 22 Januari 2020, berselang 15 hari dari kepulangan Harun ke tanah air dan 13 hari dari operasi tangkap tangan KPK terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Ditjen Imigrasi menyebut terjadi keterlambatan data di Bandar Udara Soekarno-Hatta.
"Enggak masuk akal alasan Kemenkumham. Sebenarnya sederhana. Mereka tinggal cek CCTV di bandara saja, apakah benar temuan dan pentunjuk Tempo. Tapi itu enggak ditindaklanjuti dengan baik. Rentang dua minggu kami pandang enggak cukup membenarkan alasan dari Dirjen Imigrasi," tutur Kurnia.