TEMPO.CO, Jakarta - Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR RI menyatakan tak setuju jika omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja menghapus Pasal 4 Undang-undang Jaminan Halal tentang keharusan semua produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal.
"Fraksi PPP menyatakan keberatan kalau pasal 4 UU JH ini dihapus karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam," ujar Sekretaris Fraksi PPP DPR RI, Achmad Baidowi lewat keterangan tertulis pada Selasa, 21 Januari 2020.
Baidowi mengatakan, fraksinya sepakat dengan ide pemerintah untuk mempercepat investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi lewat omnibus law. Tetapi ia meminta jangan sampai mengabaikan fakta-fakta yang menjadi kewajiban bagi umat Islam.
"Maka dari itu, perlu pengaturan yang sesuai antara percepatan ekonomi dengan norma-norma yang menjadi keyakinan makhluk beragama," ujar Wakil Sekretaris Jenderal PPP ini.
Draf RUU Cipta Lapangan Kerja ini sudah dirampungkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal termasuk yang dibahas dalam Omnibus Law. Beberapa pasal di dalamnya, terdampak dalam pembahasan penyusunan RUU tersebut.
Namun, draf terbaru belum diserahkan kepada DPR RI. Pernyataan keberatan PPP ini masih berdasarkan drat yang beredar pada November 2019.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Mastuki mengaku lembaga ini ikut terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja. Mastuki mengaku ada banyak pasal dalam UU 33/2014 yang dibahas dan akan mengalami penyesuaian. Beberapa pasal dimaksud antara lain; Pasal 1, 7, 10, 13, 14, 22, 27-33, 42, 44, 48, 55, 56, dan 58.
“Pasal 4 tentang kewajiban sertifikasi halal bagi produk, tidak jadi pembahasan,” ujar Matsuki lewat keterangan tertulis pada Selasa, 21 Januari 2020.
Menurut Mastuki, dalam serangkaian pembahasan yang telah dilakukan, omnibus Law dalam konteks jaminan produk halal ditekankan pada empat hal. Pertama, penyederhanaan proses sertifikasi halal. Kedua, pembebasan biaya bagi usaha mikro dan kecil (UMK) saat akan mengurus sertifikasi halal.
Ketiga, mengoptimalkan peran dan fungsi LPH, auditor halal, dan penyelia halal untuk mendukung pelaksanaan sertifikasi halal. Keempat, sanksi administratif dan sanksi pidana. “Arahnya bagaimana mendorong pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal. Jadi pendekatan yang dikedepankan adalah persuasif dan edukatif," ujar Matsuki.