TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memberi tiga catatan terkait 50 Rancangan Undang-undang yang ditetapkan oleh DPR RI masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2020.
"Masih tingginya target penyelesaian RUU pada 2020 ini menunjukkan bahwa DPR dan pemerintah tidak melakukan refleksi atas kinerja legislasi mereka selama ini," kata Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian PSHK, Rizky Argama, melalui siaran pers pada Senin, 20 Januari 2020.
Dia menjelaskan jumlah RUU itu masih terlalu banyak dan tidak realistis untuk diselesaikan dalam satu tahun. Berdasarkan pengalaman periode 2014-2019, target penyelesaian 50 RUU dalam satu tahun tidak pernah tercapai.
Pada 2017, DPR dan pemerintah hanya berhasil menyelesaikan 6 RUU, sementara pada 2018 hanya 5 RUU yang berhasil disahkan. Pada 2019, dari target 55 RUU, DPR dan Pemerintah hanya dapat menuntaskan 14 RUU.
Selain itu, kata Rizky, jumlah RUU usulan DPD dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020 yang hanya satu, yaitu RUU Daerah Kepulauan, menunjukkan bahwa DPR belum optimal mengakomodasi kepentingan daerah yang diwakili oleh DPD.
Kedua, Rizky menyebut substansi sejumlah RUU berpotensi saling beririsan, saling tumpang tindih, atau tidak memiliki urgensi untuk diatur dalam undang-undang, seperti RUU Ketahanan Keluarga dan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak.
"Potensi tumpang tindih substansi tidak hanya di antara kedua RUU itu, tetapi juga dengan undang-undang lain yang sudah ada, salah satunya UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial."
Selain itu, PSHK juga mempertanyakan urgensi sejumlah RUU lainnya seperti RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, RUU Kefarmasian, RUU Pendidikan Kedokteran, RUU Profesi Psikologi, serta RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol Agama.
Rizky mengatakan, sebatas menilai dari judulnya, substansi sejumlah RUU itu bisa jadi telah diatur secara umum di dalam beberapa undang-undang yang telah ada, seperti UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Pendidikan Tinggi, UU Hak Asasi Manusia, maupun KUHP.
Dia meminta DPR dan pemerintah seharusnya tak hanya menyajikan daftar judul RUU tetapi juga menyediakan Naskah Akademik dan draf setiap RUU yang dapat diakses oleh publik. "Sehingga, publik dapat dengan jelas menilai apakah substansi serta materi muatan yang diatur dalam RUU itu cukup layak untuk ditempatkan dalam level undang-undang."
Ketiga, Prolegnas Prioritas Tahun 2020 juga mencantumkan 4 RUU sebagai omnibus law, yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Ibukota Negara, dan RUU Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian yang diajukan oleh Pemerintah, serta RUU Kefarmasian yang diajukan oleh DPR.
PSHK menilai, omnibus law seolah menjadi jargon bagi pemerintah dan DPR untuk mengatasi berbagai persoalan regulasi di sejumlah bidang. Rizky menyebut, DPR dan Pemerintah mempromosikan bahwa omnibus law yang proses pembentukannya cenderung singkat, mampu membatalkan atau mengubah banyak peraturan sekaligus.
Padahal, Rizky menjelaskan, keunggulan dari sisi prosedural tersebut justru dapat menimbulkan kerugian, terutama dalam hal substansial, seperti minimnya pelibatan masyarakat dalam proses pembahasan ataupun potensi penghapusan ketentuan perundang-undangan.
"Yang selama ini melindungi prinsip-prinsip hak asasi manusia, kelestarian lingkungan hidup, serta tata kelola pemerintahan yang baik."