TEMPO.CO, Jakarta - Mutiara Ika Pratiwi dari Lembaga Perempuan Mahardika menyebut Omnibus Law merupakan ancaman bagi pekerja perempuan. Dalam Rancangan Undang-undang itu, kata dia, tak ada satu pun pasal mengenai perempuan atau kata perempuan.
“Di Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, hak perempuan disebut normatif. Di Omnibus Law tidak ada hak khusus perempuan,” kata Ika di kantor Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, Ahad 19 Januari 2020.
Ika mengatakan dalam Omnibus Law, tidak ada hak khusus cuti melahirkan untuk perempuan, hak khusus ketika hamil dan cuti haid. Hal tersebut, kata dia, bertentangan dengan logika modal dan keuntungan, maka hak tersebut dikesampingkan.
Orang hamil, kata Ika, butuh perlakuan khusus karena tubuhnya berubah. Menurut dia, hal tersebut bertolak belakang dari logika industri dan investasi. Kerja reproduksi tidak dianggap kerja yang menopang produksi kapital dalam sistem kerja produksi patriarki.
Menurut Ika, pemerintah bermimpi membuat lapangan kerja melalui RUU Cipta Lapangan Kerja dengan Omnibus Law ini. Undang-undang ini mencita-citakan masyarakat bekerja tapi tidak dengan kualitas kehidupan pekerjanya.
“Penyediaan lapangan kerja tidak untuk meningkatkan kualitas. Hanya untuk bisa hidup hari ini dan tidak mati esok harinya saja,” kata Ika.
Sejauh ini, pemerintah merencanakan dua Omnibus Law, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan yang bakal merevisi sekitar 79 UU dan 1.244 pasal.