TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat Ace Hasan Syadzily menyarankan agar pasal-pasal pemidanaan dalam Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS dilimpahkan ke Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) saja. Ace beralasan, RKUHP-lah yang akan menjadi induk dari semua hukum tindak pidana.
"Kami inginnya merujuk pada pembahasan RKUHP karena itu adalah induk tindak pidana," kata Ace ketika ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 17 Januari 2020.
RUU PKS memuat sembilan jenis kekerasan seksual. Kesembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual itu yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Menurut Ace, pemidanaan kesembilan definisi itu sebaiknya dimuat di RKUHP saja. Dengan begitu, RUU PKS akan menitikberatkan pada aspek pencegahan dan rehabilitasi saja.
Politikus Golkar ini juga menilai sekarang merupakan waktu yang pas untuk memasukkan pemidanaan kekerasan seksual itu secara lebih rinci ke RKUHP. Sebab, draf perubahan kitab hukum pidana itu juga akan dibahas oleh Komisi Hukum DPR.
"Kalau ditarik ke UU pidana kan lebih bagus, ini momentumnya. Yang penting kan terhapuskan (kekerasan seksualnya). Masukkan saja di situ, supaya kitab UU-nya lebih komprehensif," kata Ace.
Ace mengakui akan ada banyak perubahan dan keperluan pembahasan untuk menindaklanjuti usulan tersebut. Namun dia mengklaim, pendapatnya itu merupakan wacana yang saat ini sedang bergulir di internal Komisi Sosial DPR. "Wacana yang berkembang di Komisi delapan begitu," ujarnya.
RUU PKS disepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020. RUU ini sebelumnya tak rampung di periode 2014-2019 karena sejumlah ganjalan. Salah satunya adalah karena tiga pasal yang juga sedang diperdebatkan di RKUHP, yaitu pasal perkosaan, pasal pencabulan, dan pasal zina.