TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menampik jika Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Alasannya sejak ia melantik pimpinan KPK baru pada 20 Desember 2019, komisi antirasuah sudah dua kali melakukan operasi tangkap tangan.
"Buktinya saya sudah sampaikan, KPK melakukan OTT ke Bupati (Bupati Sidoarjo Saiful Ilah) dan Komisioner KPU (Wahyu Setiawan) meskipun komisoner dan dewan pengawas KPK masih baru," katanya dalam dialog bersama wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat, 17 Januari 2020.
Terkait polemik terhambatnya penggeledahan Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Jokowi menilai hal itu akibat belum adanya peraturan pelaksana terkini di KPK untuk menyesuaikan dengan undang-undang yang baru. "Saya kira memang di KPK masih banyak aturan-aturan yang harus dibuat dan diperbaharui," ucap dia.
Jokowi lalu menyudahi pembicaraan soal OTT KPK ini dengan alasan tidak ingin dianggap mengintervensi proses hukum. "Saya tidak mau berkomentar banyak nanti dianggap mengintervensi," katanya.
Ia juga enggan menanggapi hadirnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dalam konferensi pers PDIP berkaitan OTT terhadap Wahyu Setiawan. "Tanyakan ke Pak Yasonna karena Pak Yasonna juga pengurus partai," katanya.
Isu pelemahan KPK kembali mencuat seiring gagalnya penyelidik KPK menggeledah kantor DPP PDIP. Penggeledahan ini lantaran nama Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto terseret dalam dugaan suap Wahyu Setiawan.
Penyelidik gagal menggeledah lantaran diduga tidak mengantongi izin dari dewan pengawas KPK. Keberadaan dewan ini sendiri sejak awal pembahasan UU KPK yang baru sudah dikritik karena dianggap memperlambat kerja KPK.