TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum atau Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Taufik Basari menyayangkan Jaksa Agung S.T. Burhanuddin yang mengutip produk DPR untuk memperdebatkan kembali definisi pelanggaran HAM berat. "Saya menyayangkan produk politik yang dikeluarkan pada saat DPR 1999-2004 yang membuat Tragedi Semanggi I dan II mengenai definisi," kata Taufik di Kompleks DPR RI, Jakarta, Kamis, 16 Januari 2020.
Burhanuddin sebelumnya menyebut Tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat, dengan merujuk pada hasil rekomendasi Pansus Semanggi I dan II yang dibentuk DPR periode 1999-2004.
Baca juga:
Taufik menilai ucapan Jaksa Agung soal Tragedi Semanggi I dan II dapat menghambat penyelesaian kasus HAM berat masa lalu. Padahal pelbagai kasus pelanggaran HAM berat masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah hingga kini.
DPR, kata Taufik, ketika itu merujuk definisi pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun UU itu tidak sepenuhnya mengadopsi definisi pelanggaran HAM berat yang diatur dalam International Criminal Court (ICC).
Ada dua definisi dalam ICC yang tak diadopsi, yakni kejahatan perang dan kejahatan agresi. Hal inilah yang mendasari keputusan DPR untuk tidak mengkategorikan Tragedi Semanggi I dan II sebagai pelanggaran HAM berat. Menurut Taufik, perbedaan definisi ini harus diselesaikan agar tidak menggantung.
Politikus Nasdem ini menganggap, sebagai sebuah keputusan politik, hasil rekomendasi DPR periode 1999-2004 itu masih bisa didiskusikan kembali. Dia menyarankan semua pihak duduk bersama untuk mencari jalan keluar. "Kalau dibiarkan begini saja, Jaksa Agung menyatakan ini bukan pelanggaran HAM berdasarkan keputusan politik DPR 1999-2004, kita akan sulit untuk mendorong penuntasan Tragedi Semanggi I dan II," kata Taufik.