TEMPO.CO, Yogyakarta - Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyebut yel-yel Islam yes, kafir no oleh pembina Pramuka di SD Timuran, Prawirotaman, semakin memperkuat intoleransi di daerah tersebut.
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM Yogyakarta Agus Wahyudi menengarai yel-yel intoleransi tersebut sudah lama ada di sekolah-sekolah di Yogyakarta.
Peristiwa di SD Timuran tersrbut menggambarkan kekhawatiran banyak orang tentang meningkatnya intoleransi di Yogyakarta.
“Kejadian itu menjadi viral, memperkuat dugaan meningkatnya intoleransi dan berbahaya untuk perkembangan generasi muda Yogyakarta ke depan,” kata Agus hari ini, Kamis, 16 Januari 2020.
Yogyakarta selama ini dikenal punya posisi penting dalam menjaga toleransi dan kebhinekaan. Bila Yogyakarta bobol, maka orang akan menganggap Indonesia secara umum mencerminkan kenyataan yang sama.
Yel-yel Islam yes kafir no, menurut Agus, bukan menjadi identitas pramuka.
Dengan begitu, Pramuka sebagai sebuah organisasi perlu memperkuat dan memperbaiki sistemnya seperti mempromosikan standar etik dan integritas baik secara kelembagaan maupun individu yang bekerja di dalamnya.
Di Pusat Studi Pancasila UGM, Agus menerangkan, menerjemahkan aktualisasi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dalam kerangka mendorong standar etik dan integritas itu. Termasuk kalau ada dosen yang anti-keberagaman, UGM menurut dia punya cara menghadapinya.
Agus mendorong pemangku kepentingan seperti Kementerian Pendidikan dan jajarannya peduli pada sikap-sikap yang anti-keberagaman. Dia melihat selama ini ada kekacuan yang akut membedakan pendidikan moral dan akhlak, atau etiket dari pendidikan etika dan integritas.
“Ini bisa diperlihatkan dalam kurikulum pendidikan dan sistem penyampaiannya,” kata Agus.
Selain itu, pengelola negara pada umumnya seharusnya menjelaskan tujuan bernegara adalah semua buat satu, satu buat semua.
Kampanye atau narasi entah politik, kebudayaan, edukasi yang bertentangan dengan ide pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa melalui keberagaman bisa sangat bermasalah dari sudut Pancasila.
Semua bentuk kampanye atau narasi yang mendorong kebencian, mengeksklusi kelompok yang berbeda atau minoritas, dan memperkuat identitas-identitas politik ke arah dehumanisasi harus ditanggapi dan direspon secara proporsional.
“Bukan hanya oleh negara tetapi oleh seluruh warga negara yang sadar tentang tanggung jawab negara,” kata dia.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan periode 2020-2024, Siti Ruhaini Dzuhayatin, menyebutkan yel-yel Islam yes kafir no yang diajarkan oleh pembina pramuka di SD Timuran adalah dampak kebangkitan populisme agama.
Menurut dosen Sosiologi Hukum, Hukum dan HAM, Hukum dan Gender Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu populisme agama semakin menguat dalam situasi global. Selain itu, populisme agama juga menjadi ajang politisasi.
Protes wali murid terhadap yel-yel itu menandakan adanya ketidaknyamanan terhadap situasi tersebut. Sebelum media sosial berkembang seperti sekarang, orang yang mendengar hal itu lebih banyak menggerutu atau diam. “Kini dengan adanya media sosial, orang bisa bersuara dan dampaknya meluas,” kata Siti.
Yel-yel itu menurut Siti sudah muncul sejak enam tahun lalu di Yogyakarta. Enam tahun lalu, Siti mendengar yel-yel serupa di taman kanak-kanak berbasis Islam di dekat rumahnya. Bunyi yel-yelnya adalah Islam Islam yes, kafir-kafir no. Cinta Islam sampai mati.
Siti kemudian mendatangi guru sekolah di TK tersebut dan memberikan penjelasan. Kepada guru tersebut Siti bicara bahwa anak-anak TK itu sedang belajar tentang hidup, kenapa harus menggunakan yel cinta Islam sampai mati.
Siti meminta guru tersebut untuk tidak menggunakan kafir-kafir no. Lalu yel-yelnya diganti menjadi Islam yes cinta Islam sepenuh hati. “Yang lebih penting menanamkan di jiwa anak-anak untuk mencintai Islam yang mengajarkan kemanusiaan,” kata Siti.
Di Yogyakarta, seorang pembina Pramuka dari Gunungkidul mengajarkan tepuk dengan kata Islam yes, kafir no di akhir tepuk saat memberikan pelatihan di SD Timuran, Prawirotaman Kota Yogyakarta pada Jumat, 10 Januari 2020.
Pembina itu meminta maaf setelah salah satu wali murid memprotes. Saat itu, ia melihat praktik Pramuka dengan peserta murid di atas kelas anaknya.
Ada pembina putri masuk dan mengajak anak-anak tepuk tangan bernada rasisme. Di akhir tepuk tangan, pembina Pramuka tersebut mengajarkan yel-yel, “Islam yes, kafir no."
Video tentang yel-yel rasis tersebut beredar di sejumlah grup WhatsApp dan media sosial.