TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Pemerintahan Fraksi Gerindra Kamrussamad menduga kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) yang melibatkan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan terjadi karena inkonsistensi mempertahankan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Menurut kami akar masalahnya adalah konsistensi dalam mempertahankan sistem pemilu yang telah kita sepakati dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 proporsional terbuka suara terbanyak,” kata Kamrussamad dalam rapat dengar pendapat dengan KPU, Bawaslu, dan DKPP di Komisi II DPR RI, Selasa 14 Januari 2020.
Sebelumnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menempuh Judicial Review ke Mahkamah Agung meminta suara caleg mereka, Nazarudin Kiemas yang meninggal dialihkan kepada Harun Masiku. Keduanya adalah caleg untuk daerah pemilihan Sumatera Selatan I. Mahkamah Agung menolak gugatan PDIP, namun mengeluarkan fatwa yang menyatakan partai berhak menetapkan calon anggota legislatif terpilih.
Atas dasar fatwa ini, PDIP kemudian melayangkan surat kepada KPU untuk meminta Harun Masiku menggantikan Nazarudin Kiemas. Tapi atas dasar rapat pleno, KPU memutuskan yang berhak sebagai anggota legislatif adalah Riezky Aprilia karena ia mendapat suara terbanyak kedua setelah Nazarudin Kiemas.
Kamrussamad meyakini bila konsisten dengan UU Pemilu, maka tidak akan ada penafsiran dan tidak akan ada akomodasi yang lahir dari sengketa di luar mekanisme kepemiluan selain di Bawaslu dan Makamah Konstitusi.
Menurut Kamrussamad, karena ada tafsir itu lah yang memunculkan ruang untuk korupsi itu terjadi. “Ini penting sekali komitmen teman-teman, nantinya dalam membangun ke depan dalam rangka revisi undang-undang ini sebagai bahan masukan untuk kita konsisten terhadap sistem pemilu,” ujarnya.
Kamrussamad menambahkan tidak ada pengadilan umum dalam sengketa Pemilu, apalagi fatwa. Karena itu, ia menghargai keputusan pleno KPU yang konsisten berpegang teguh terhadap keputusan pleno KPU yang menetapkan sistem suara terbanyak sebagai anggota DPR terpilih.
Berkaitan dengan kasus suap ini, Komisioner KPU Wahyu Setiawan diduga menjanjikan bisa meloloskan keinginan PDIP dan meminta Rp 900 juta sebagai imbalan. Namun sebelum selesai menjalankan aksinya, Wahyu dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi dalam operasi tangkap tangan.