TEMPO.CO, Jakarta-Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK membuka kemungkinan untuk memanggil Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dalam kasus suap komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan.
"Kembali ke proses penyidikan, tetapi mungkin tidak saja hanya kepada Hasto tetapi mungkin kepada pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan pengembangan perkara ini," kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, di kantornya, Jakarta, Kamis, 9 Januari 2020.
Sebelumnya, nama Hasto ikut terseret dalam kasus ini setelah dua stafnya diduga ditangkap dalam OTT KPK pada Rabu, 8 Januari 2020. Politikus Partai Demokrat Andi Arief menyinggung dua staf Hasto ikut terseret OTT tersebut.
"Jika benar ada dua staf Sekjen Hasto Kristiyanto dengan inisial S dan D bersama caleg partai tersebut, maka apa arti sebuah tangisan," kata Andi Arief lewat akun Twitternya pada Kamis, 9 Januari 2020. Andi Arief mengizinkan Tempo mengutip cuitan ini.
Dalam konferensi pers penetapan tersangka, KPK membuka identitas kedua inisial itu, yakni Saeful yang disebut sebagai pihak swasta dan Doni, advokat yang juga caleg PDIP. Lili mengatakan Doni berperan mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 peraturan KPU 3 2019 tentang Pemungutan Perhitungan Suara ke Mahkamah Agung.
Pengajuan ini terkait dengan meninggalnya caleg PDIP dari Sumatera Selatan, Nazarudin Kiemas, pada Maret 2019. PDIP ingin suara Nazarudin, sebagai pemenang pemilu legislatif, masuk kepada Harun Masiku.
Gugatan ini dikabulkan MA pada Juli 2019. Dalam putusannya, MA menetapkan partai menjadi penentu suara pada pergantian antar waktu. Putusan MA ini menjadi dasar bagi PDIP mengirim surat ke KPU untuk menetapkan Harun Masiku. Tapi, KPU tetap menetapkan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin
Pada 13 September 2019, PDIP kembali mengajukan permohonan fatwa ke MA. Kemudian, partai juga mengirim surat penetapan caleg ke KPU pada 23 September 2019. Untuk memuluskan jalan Harun, Saefulah, seorang swasta, kemudian menghubungi Agustiani Tio Fridelina, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu. Agustiani kemudian melobi Wahyu Setiawan agar mengabulkan Harun Masiku sebagai anggota DPR terpilih.
Agustiani mengirim dokumen dan fatwa MA kepada Wahyu. Wahyu menyanggupi dengan menjawab, “Siap mainkan.” Lilik mengatakan untuk membantu penetapan Harun, Wahyu meminta dana operasional Rp 900 juta.
Menurut Lilik, ada dua kali pemberian uang. Pertama pada medio Desember 2019, ada seorang seseorang yang memberikan uang Rp 400 juta kepada Agustiani, Doni, dan Saefulah. Kemudian, Agustiani memberikan Rp 200 juta kepada Wahyu.
Pada Desember 2019, Harun memberikan uang kepada Saefulah sebesar Rp 850 juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP. Kemudian, Saefulah memberikan uang kepada Doni Rp 150 juta. Sisanya Rp 700 juta masih di tangan Saefullah. Ia membagi menjadi dua, Rp 450 juta diberikan kepada Agustiani dan Rp 250 juta untuk operasional.
Pada Selasa, 7 Januari 2020 berdasarkan hasil rapat pleno, KPU menolak permohonan
PDIP untuk menetapkan Harun Masiku sebagai PAW. Setelah gagal di rapat pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi Doni menyampaikan telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi anggota DPR melalui PAW.
Pada Rabu, 8 Januari 2020, Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh Agustiani. Setelah penyerahan uang ini, KPK menangkap Wahyu dan Agustiani di tempat berbeda.
Hasto mengaku tak tahu-menahu ihwal dugaan keterlibatan dua stafnya dalam OTT KPK. Hasto mengatakan, sampai saat ini juga masih menunggu keterangan resmi dari KPK. Kendati demikian, Hasto mengatakan, apapun yang dilakukan staf atau pun kadernya, dia ikut bertanggungjawab selama masih dalam garis kebijakan.
"Sebagai Sekjen, tentu saya bertanggungjawab terhadap pembinaan seluruh anggota dan kader-kader partai," ujar Hasto di JI-Expo Kemayoran, Jakarta pada Kamis, 9 Januari 2020.