TEMPO.CO, Jakarta - Penasehat hukum Bupati Muara Enim Ahmad Yani, Maqdir Ismail menuding operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap kliennya bermotif politik. Tujuannya, kata dia, untuk menjatuhkan nama Firli Bahuri yang kala itu maju sebagai calon pimpinan KPK.
"Ketidaksukaan pimpinan KPK terhadap Kapolda Sumatra Selatan pada saat itu, Firli Bahuri nampak terang benderang," kata Maqdir saat membacakan eksepsi di Pengadilan Tipikor Palembang, Selasa, 7 Januari 2020.
Menurut Maqdir, pangkal konflik antara pimpinan KPK era Agus Rahardjo cs bermula saat Firli masih menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. Firli diduga melakukan pelanggaran etik karena bertemu sejumlah pihak yang berperkara di KPK. Polemik ini membuat Firli ditarik kembali ke kepolisian, lalu didapuk menjadi Kapolda Sumatera Selatan pada akhir Juni 2019.
Tak lama setelah itu, Firli maju sebagai calon pimpinan KPK periode 2019-2023. Hingga akhirnya terpilih menjadi Ketua KPK secara aklamasi di DPR. Menurut Maqdir, OTT terhadap kliennya adalah upaya untuk menjegal Firli dalam proses pencalonan itu. Sebab, nama Firli muncul dalam sadapan perkara korupsi yang menjerat kliennya, Ahmad Yani menjadi tersangka.
KPK menangkap Bupati Muara Enim Ahmad Yani, bersama Kepala Bidang Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kabupetan Muara Enim, Elfin MZ Muchtar, serta kontraktor bernama Robi Okta Fahlevi. KPK menduga Yani dan Elfin menerima total Rp 12,5 miliar dari 16 paket proyek di Muara Enim dari Robi.
KPK menangkap ketiganya pada 2 September 2019. Saat itu, Elfin baru saja menerima US$ 35 ribu atau setara Rp 500 juta dari Robi. Elfin berencana memberikan uang itu kepada Firli yang menjabat Kapolda Sumatera Selatan. Elfin mengatakan bahwa pemberian itu bukan atas permintaan Firli, melainkan inisiatif dari Yani. Yani ingin memberikan uang sebagai tanda perkenalan dengan Kapolda Sumsel yang belum lama dilantik.
Menurut Maqdir, bila saja uang itu sudah diserahkan, maka KPK akan menjadikan hal itu untuk menjelek-jelekan Firli. "Dapat dipastikan dia akan menjadi bulan-bulanan pimpinan KPK dengan cara memberitakan adanya penerimaan uang oleh Kapolda Sumatra Selatan," kata Maqdir.