TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil: LBH Jakarta, Greenpeace, Walhi, dan Rujak Center for Urban Studies menilai normalisasi sungai dengan membeton tidak menyelesaikan masalah banjir di Jakarta. Ketimbang normalisasi, langkah yang perlu diambil pemerintah adalah mencari cara agar air terserap maksimal oleh tanah.
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja, mengatakan normalisasi dengan betonisasi justru mempercepat aliran air dari hulu ke Teluk Jakarta dan menambah beban pada kanal-kanal yang ada. Padahal drainase kota dan badan air Jakarta hanya 3 persen dari total luas daratan Ibu Kota.
"Yang diperlukan Daerah Aliran Sungai kita adalah restorasi sungai yang menyeluruh dari hulu ke hilir," kata Elisa dalam konferensi pers di Kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta, Senin, 6 Januari 2020.
Bukti normalisasi sungai tidak menyelesaikan masalah, kata Elisa, terlihat dari terendamnya Kampung Pulo dan Bukit Duri. Padahal sungai Ciliwung yang melewati dua daerah sudah dibeton. "Pemerintah harus cari cara agar air terserap maksimal oleh tanah atau disimpan semaksimal mungkin dalam berbagai metode yang dikenal konsep Zero Run Off," kata dia.
Normalisasi yang harus dilakukan, kata Elisa, yaitu pengerukan sedimentasi untuk mengembalikan kapasitas daya tampung sungai. Selain itu, untuk mengatasi banjir Jakarta dituntut koordinasi lintas provinsi dan antarkementerian. Alasannya penyebab banjir ada mulai dari hulu hingga di hilir.
Elisa mencontohkan di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, banyak alih fungsi lahan yang justru dimiliki pejabat dan konglomerat. Sementara di Jakarta, pemerintah tak kunjung mengembalikan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Berdasarkan perhitungan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan, Elisa mengatakan hampir 90 persen permukaan Jakarta tertutup beton. "Karenanya hampir mustahil jika air permukaan dan limpahan dari 90 persen itu bertumpu ke drainase kota dan badan air Jakarta yang hanya 3 persen dari total luas daratan Jakarta," kata dia.